Jumat, 15 April 2016

Farmakokinetik-Laporan ORAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Obat yang diberikan secara oral akan masuk kedalam peredaran darah setelah mengalami absorbsi dalam saluran cerna. Dari proses tersebut dapat diperoleh efek sistemik. Proses dari absorbsinya sangat menentukan karena berkaitan langsung dengan intensitas farmakologi yaitu onset of action.
Berbagai bahan tambahan dalam produk dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat itu sendiri. Sebagai contoh bahan pensusupensi dapat menaikkan viskositas dari mutu yaitu sediaan yang dapat menurunkan kelarutannya.
Bentuk sediaan yang memberikan aksi farmakologi yang cepat tidak selalu menguntungkan, sebab semakin cepat suatu obat terabsorbsi maka akan memberikan aktifitas obat yang lebih lama.
Oleh karena itu, penting artinya bagi seorang farmasis untuk dapat membentuk dan memilih bentuk-bentuk sediaan obat yang memberikan efek terapeutik secara maksimal.




B. Maksud  Percobaan
Adapun  maksud dari percobaan ini adalah untuk mengetahui serta mempelajari penentuan  beberapa parameter farmakokinetik
C. Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah sebagai berikut :
1.    Untuk menentukan tetapan laju eliminasi (K), waktu paruh (t1/2) , dan tetapan laju absorbsi (Ka) dari suatu obat dengan menggunakan data contoh darah setelah pemberian dosis tunggal
2.    Mempelajari distribusi obat di dalam tubuh yang diberikan secara oral dan menentukan volume distribusinya.
3.    Menetukan luas daerah di bawah kurva (Area Under Cuve = AUC)
D. Prinsip percobaan
Prinsip dari perobaan ini adalah untuk untuk menentukan tetapan laju eliminasi (K), waktu paruh (t1/2) , dan tetapan laju absorbsi (Ka) dari suatu obat dengan menggunakan data contoh darah setelah pemberian dosis tunggal Parasetamol® pada hewan coba Tikus (Rattus norvegicus) pada menit ke 30 dan 60.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
                                                A. Teori umum
Biofarmasetika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat fisikokimia formulasi obat dengan ketersediaan hayati obat. Sedangkan ketersediaan hayati menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Karena biofarmasetika berperan dalam mengatur pelepasan obat ke sirkulasi sistemik maka ketersediaan hayati mempunyai makna terapetik dan toksik (Sukri, 2002).
Bioavaibilitas bahan aktif dalam suatu bentuk sediaan tergantung pada beberapa faktor yang meliputi antara lain (Ansel, 2004) :
a)    disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif
b)    pelarut obat
c)    absorbsi atau permeasi obat melintasi membran sel .
Bioavailabilitas dapat diukur in vitro (pada keadaan sesungguhnya dari pasien) dengan menentukan kadar plasma obat sesudah tercapai steady state. Pada keadaan terjadi keseimbangan antara kadar obat disemua jaringan tubuh, dan kadar darah praktis konstan karena jumlah yang diserap dan yang dieliminasi adalah sama. Antara kadar plasma dan efek terapeutik pada umumnya terdapat suatu korelasi yang baik. Pengecualian adalah pada misalnya obat hipotensi yang masih berefek, walaupun kadarnya dalam plasma sudah tidak dapat diukur lagi (Tan, H. T, 2002).
Sebaliknya, FA hanya dapat ditentukan in vitro dalam laboratorium dengan mengukur kecepatan melarutnya zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution rate). Pengukuran ini dilakukan dengan metode dan alat khusus menurut USP XVIII guna meniru sejauh mungkin keadaan alami dalam saluran lambung-usus. Sayang sekali cara penentuan yang mudah dan praktis ini hasilnya jarang menunjukkan korelasi dengan kadar obat dalam plasma in vivo, yang lebih sukar pelaksanaannya. Oleh karena itu pengetian bioavailabilitas (BA) lebih disukai dan sudah lazim penggunannya (Tan, H. T, 2002).
Ketersediaan hayati adalah fraksi obat yang diberikan yang mencapai sirkulasi sistemik. Ketersediaan hayati dinyatakan sebagai fraksi dari obat yang diberikan yang masuk ke sirkulasi sistemik dalam suatu bentuk yang secara kimiawi berubah. Misalnya jika 100 mg obat diberikan peroral dan 70 mg dari obat ini diabsorbsi dalam bentuk tidak berubah, maka ketersediaan hayatinya 70%  (Mycek, 2004).
Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan berbagai keadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus disampaikan kepada jaringan target sehingga kadar terapeutik (tetapi tidak toksik) didapatkan. Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat ( seperti kelarutan dalam air atau lipid, ionisasi dsb) dan oleh tujuan terapi (misalnya keinginan akan suatu awitan kerja obat yang cepat atau kebutuhan akan pemberian jangka panjang atau terbatas pada suatu tempat lokal). Terdapat dua rute pemberian obat yang utama enteral dan parenteral (Mycek , 2004).
Sifat formulasi obat yaitu absorbsi obat bisa diubah oleh beberapa faktor yang tidak berhubungan dengan sifat fisika kimia obat. Sebagai contoh ukuran partikel, bentuk garam polimorfisme kristal, dan keberadaan exipient (seperti zat-zat pengikat atau penyebar) dapat mempengaruhi kemudahan pemecahan obat, dan karena itu, mengubah kecepatan absorbsi (Mycek, 2004).  
Faktor-faktor farmasetik yang mempengaruhi bioavaibilitas obat. Untuk merangcang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling berada dalam sistemik, farmasi harus mempertimbangkan (Ansel, 2004). 
1.    Jenis produk obat;
2.    Sifat bahan tambahan dalam produk obat;
3.    Sifat fisikokimia obat itu sendiri.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi obat pada setiap sisi suatu membran adalah afinitas obat terhadap komponen jaringan, yang mencegah obat bergerak kembali dengan bebas lewat membran sel. Transport aktif adalah proses trans membran yang di perantarai oleh pembawa yang memainkan peran penting dalam sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit. Difusi yang dipermudah juga merupakan system transport yang diperantarai pembawa, berbeda dengan transport aktif, obat bergerak karena perbedaan konsentrasi (Ansel, 2004).
      Faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah (Tan, H. T, 2002).
a.    Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, kehalusannya),
b.    Keadaan kimiawi(ester, garam, kompleks dan sebagainya)
c.    Zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin dan sebagainya)
d.    Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan mesin tablet, alat emulgator dan sebagainya)
 Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (suspensi) seperti gom, gelatin, dan tajin umumnya juga memperlambat larutnya obat, sedangkan zat desintegrasi (berbagi jenis tepung, amilum) justru mempercepat. Akhirnya semakin keras pencetakan tablet yang disimpan lama sering kali mengeras dan lebih sukar melarut (Tan, H. T, 2002).
Saat obat didistribusikan dalam tubuh, obat mengadakan kontak dengan sejumlah membran. Obat-obatan melalui beberapa membran tetapi membran lainnya tidak (Tan, H. T, 2002).
Ada dua faktor yaitu (Olson, 2004) :
1.    Faktor-faktor terkait obat
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi meliputi keadaan ionisasi, berat molekul, kelarutan dan formulasi. Obat-obat yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak menembus membran plasma paling mudah.
2.    Faktor-faktor terkait pasien
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi obat tergantung pada cara pemberiannya. Sebagai contoh, adanya makanan dalam saluran pencernaan, keasaman lambung, dan aliran darah ke saluran pencernaan mempengaruhi absorbsi obat-obatan oral.
Kecepatan absorbsi obat bentuk padat ditentukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Adakalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorbsi sehingga obat dpat diberikan dengan interval lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (Sustained release). Obat yang dirusak oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung sengaja dibuat tidak terdisintegrasi dilambung yaitu sebagai sediaan salut enteric (enteric coated) (Ganiswara, 2005).
Profil keberadaan bahan obat di dalam darah sebagai fungsi dari waktu disebut pula profil bioavailabilitas atau profil ketersediaan hayati. Profil ini menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil tersebut juga mengungjapkan nasib obat di dalam tubuh yang tidaak diketahui sebelumnya. Oleh karena fenomena difusi zat aktif dari darah menuju jaringan terjadi secara bolak balik (reversibel), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah. Selanjutnya hal ini digunakan sebagai titik tolak orientasi  (Hamita, 2006).
Apabila seseorang menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery sistem dengan istilah anglo-sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal (tablet, suppositoria dan lain-lain (Wattimena, 1987).
Salah satu tujuan pokok dari pemahaman ketersediaan hayati adalah menjelaskan adanya perbedaan efek terapetik dari sediaan obat yang mengandung zat aktif dengan dosis lazim yang sama. Notasi yang sama bila diterapkan pada konsep dan pengembangan dari sediaan obatbaru, memungkinkan pemilihan bentuk sediaan yang didasarkan pada kriteria yang tepat dan yang dapat diterapkan secara optimal pada masalah terapetik. Penerapan aktivitas suatu obat, sebagai fungsi dari efektifitasnya dan keamanan merupakan suatu masalah yang rumit, tetapi pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas obat dapat membantu menemukan cara penyelesaiannya. Jadi dari sejumlah faktor-faktor tersebut dapat dicari faktor-faktor yang berperan dan diperlukan oleh seorang formulator untuk membuat suatu obat  (Hamita, 2006).
Cara pemberian obat peroral merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor yang mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja sama dengan penderita serta tidak dapat dilakukan pada pasien koma. (Wattimena, 1987).
Dari bentuk kerja obat yang digambarkan, jelas bahwa ini tidak hanya bergantung pada sifat farmakodinamika bahan obat, tetapi juga (dan memang dalam jumlah besar) tergantung pada (Mycek, 2004) :
1.    Bentuk sediaan dan bahan pembantu yang digunakan
2.    Jenis dan tempat pemberian
3.    Keterabsorbsian dan kecepatan absorbsi
4.    Distribusi dalam organisme
5.    Ikatan dan lokalisasi dalam jaringan
6.    Biotransformasi (proses metabolisme)
7.    Keterekskresian dan kecepatan ekskresi, yakni parameter farmaseutika dan farmakokinetika.
Definisi ketersediaan hayati menyangkut proses masuknya zat aktif ke dalam tubuh dan dapat mencerminkan perubahan zat aktif ke dalam tubuh dan dapat mencerminkan perubahan zat aktif tersebut dalam darah. Apresiasi langsung definisi tersebut tidak terlalu mungkin, tetapi peneliti harus berusaha menggunakan berbagai cara untuk mendekati definisi tersebut, walau interpretasi data menjadi lebih rumit (Shargel, 2012).
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh FDA untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kualitas, dan kemurnian. Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah terpenuhi, FDA menghendaki studi bioavailabilitas farmakokinetik (Shargel, 2012).
Evaluasi ketersediaan hayati suatu obat atau berbagai bentuk sediaan farmasi dengan zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan, yaitu      (Shargel, 2012) :
a.    Dalam rangka pengembangan obat baru; untuk menentukan cara pemberian dan bentuk sediaan suatu obat baru.
b.    Setelah keputusan dibuat obat baru; untuk menetapkan mutu suatu obat dan pengaturan kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita.
c.    Berkaitan dengan undang-undang ; untuk memastikan kekuatan suatu obat yang diteliti dengan mutu obat sejenis lokal yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga memastikan pergantian obat.
        Yang dimaksud dengan ketersediaan biologi (bioavailabilitas) bahan obat dari mutu sediaan adalah laju dan besarnya bahan obat (dalam bentuk tak berubah) yang berhasil mencapai pembuluh darah atau tempat kerja (menurut definisi, ketersediaan biologi pada pemberian intravena adalah 100%) kalau dahulu dianggap bahwa tak bergantung kepada sediaan galenik, dosis yang sama, sekarang diketahui bahwa ketersediaan biologi dan dengan demikian khasiat obat dari sediaan dagang yang satu, ke sediaan yang lain dapat sangat beragam. Ini khusus berlaku untuk senyawa yang sukar larut. Sebagai contoh bahan obat, yang menunjukkan perbedaan besar dalam ketersediaan biologi pada berbagai sediaan dagang telah disebutkan asam asetil salisilat, aluprinol, kloramfenikol, digoksi, dan tertasiklin (Mycek, 2004).
Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannnya tidak perlu diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah yaitu (Shargel, 2012) :
a.    Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya penyesuaian posologi yang tepat terhadap penderita, dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetik in-vivo, baik karena interaksi obat maupun karena perubahan fungsi fisiologik.
b.    Farmaseutik yang berkaitan dengan  rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik farmakokinetik zat aktif.
Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek terapeutisnya. Di beberapa negara (AS, Jerman), BA mencakup pula kecepatan de­ngan mana obat muncul di sirkulasi darah. Biasanya, efek obat baru mulai nampak sesudah obat melalui sistem pembuluh porta serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah besar yang mendistribusikannya ke seluruh jaringan (Tan, H. T, 2002).
Istilah Biofarmasi diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1961 (Farmaseutik). Biofarmasi di satu sisi mencakup hubungan antara sifat fisika kimia farmakon dengan sediannya, disisi lain dengan kerja biologisnya, dimana farmakon dapat berada dalam bentuk sediaan yang berlainan (R. Voight, 1995).
B. Uraian Hewan Coba
1. Klasifikasi Hewan Coba (Jasin, 1992)
Tikus (Rattus norvegicus
Kingdom               :           Animalia
Phylum                  :           Cordata
Sub Phylum         :           Vertebrata
Class                     :           Mamalia
Ordo                       :           Rodentia
Family                    :           Muridae
Genus                   :           Rattus
Spesies                 :           Rattus norvegicus
C. Uraian Bahan
1.        Air suling (Ditjen POM,1979 : 96)
Nama resmi               :     AQUA DESTILLATA
Nama lain                  :     Air suling
RM/BM                       :     H2O/18,02
Pemerian                   :     Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan           :     Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan                 :     Sebagai pelarut
2.        Na.CMC (Ditjen POM, 1979 : 401)
Nama resmi               :     NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM
Nama lain                  :     Natrium Karboksimetilselulosa
Pemerian                   :     Serbuk atau butiran ; putih atau putih gading ; tidak berbau atau hamper tidak berbagu ; higroskopik
Kelarutan                  :     Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspense koloidal ; tidak larut dalam etanol (95%) P, dalam eter P dan dalam pelarut organik lain
Penyimpanan           :     Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan                 :     Sebagai pelarut
3.        Paracetamol (Ditjen POM, 1979 : 37)
Nama resmi               :     ACETAMINOPHENUM
Nama lain                  :     Acetaminofen, Paracetamol
Pemerian                   :     Hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau; rasa pahit
Kelarutan                  :     Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P ; larut dalam larutan alkali hidroksida
Penyimpanan           :     Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Kegunaan                 :     Sebagai obat
4.        Alkohol (Ditjen POM, 1979 : 65)
Nama resmi               :     AETHANOLUM
Nama lain                  :     Etanol, Alkohol
Pemerian                   :     Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak; bau khas; rasa panas. Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap
Kelarutan                  :     Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P
Penyimpanan           :     Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya; tempat sejuk, jauh dari nyala api



BAB III
Metode kerja
  1. Alat yang Digunakan
Adapun alat-alat yang digunakan percobaan ini  yaitu  Gunting Bedah, Spoit 1 ml, Spoit 3 ml, Spoit 5 ml, Sentrifuge, Spektrofotometri, Timbangan, Tabung eppndorf dan Vial
B.   Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu Alkohol, Aquades, Betadine, Na.CMC, Kapas, Parasetamol, dan Plester.
C. Cara Kerja
1.      Penyiapan Hewan
a.    Hewan coba dimandikan sehari sebelum dilakukan percobaan.
b.    Hewan coba hendaknya dipuasakan selama 6-8 jam sebelum percobaan
c.    Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu ditimbang
d.    Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba untuk menyatakan berat, nomor hewan coba dsb.
2.    Perlakuan hewan coba
a.    Disiapakan alat dan bahan yang akan digunakan dan hewan coba tikus (Rattus norvegicus)
b.    Diambil darahnya sebanyak sebanyak 0,5 ml (ditempatkan pada tabung eppendorf)
c.    Diinjeksikan Paracetamol
d.    Diamkan selama 30 menit
e.    Kemudian diambil darahnya 0,5 mL setiap 30 menit yaitu pada menit ke-30 dan 60
f.     Disentrifugasi selama 10 menit
g.    Dihitung absorbansinya pada spektrofotometer
h.    Dicatat datanya
i.      Dihitung parameter farmakokinetiknya












BAB IV
DATA PENGAMATAN
A.   Tabel Pengamatan
Data kurva baku
C
ABSORBAN
2
0.417
4
0.721
6
0.935
8
1.425
10
1.655
Data sampel
Waktu (jam)
ABSORBAN
2
0.517
4
0.671
6
0.732
8
0.999
10
1.031
12
1.375
14
1.480
16
0.981
18
0.870
20
0.432




·         Perhitungan
C
ABSORBAN
2
0.417
4
0.721
6
0.935
8
1.425
10
1.655












           
Nilai :  a = 0.076
                        b = 0.159
                        r  = 0.997

·      untuk mencari nilai Cp maka digunakan persamaan berikut :

            y =

 =  = 2.773

 =  = 3.742

 =  = 4.125

 =  = 5.805

 =  = 6.006

 =  = 8.169

 =  = 8.830

 =  = 5.691

 =  = 4.993

 =  = 2.238

Waktu (jam)
ABSORBAN
Cp
Log Cp
2
0.517
2.773
0.442
4
0.671
3.742
0.573
6
0.732
4.125
0.615
8
0.999
5.805
0.763
10
1.031
6.006
0.778
12
1.375
8.169
0.912
14
1.480
8.830
0.945
16
0.981
5.691
0.755
18
0.870
4.993
0.698
20
0.432
2.238
0.349

·      Menentukan orde, diambil tiga (3) data terakhir dari tabel data sampel :
Orde 0 (nol)                                       Orde 1 (satu)
a =       19.845                                    a =       2.427
b =       -0.863                                     b =       -0.101
r  =       -0.945                                     r  =       0.923
mengikuti orde 0 (nol), karena mendekati -1
·      Menentukan parameter-parameter oralnya :
a)    Ketetapan eliminasi (k)
k  = -b
= - (-0.863)
= 0.863 jam-1

b)    Waktu paruh ( )
) =  =  = 11,497 jam
c)    Ketetapan absorbsi (Ka)
T
Cp lama
Cp baru
Cp Dift
2
2.773
18,128
15,355
4
3.742
16,402
12,66
6
4.125
14,676
10,551

Untuk mendapatkan nilai Cp baru, maka digunakan persamaan y = a + bx dan untuk mendapatkan nilai Cp dift, maka nilai Cp baru dikurang dengan nilai Cp lama (Cp baru – Cp lama).
y (2)      = a + bx
                        = 19,854 + (-0,863) . 2
                        = 18,128
y (4)      = a + bx
                        = 19,854 + (-0,863) . 4
                        = 16,402
y (6)      = a + bx
                        = 19,854 + (-0,863) . 6
                        = 14,676
            Nilai orde 0 (nol) didapatkan dari t vs Cp Dift
            a =17,654                  b = -1,201      r = -0,997
           
Ka = -(-1,201)
                  = 1,201 jam-
d)    Waktu maksimal (t maks)
t maks  =
                        =
                        =
                        = 4,115 jam
e)    Volume distribusi (Vd)
Dosis obat = 500 mg = 500000 µg
Vd        =
             =    71626,658 ml
f)     Cp maksimal (Cp maks)
Cp maks          = [A.Ҽ-k.t maks ] - [B Ҽ-ka.t maks ]
                         = [19,845 . Ҽ-0,863 x 4,115 ] - [17,654 . Ҽ-1,201 x 4,115 ]
                         = [19,845 . Ҽ-3,551 ] - [17,654 . Ҽ-4,942]
                         = [19,845 . 0.028 ] - [17,654 . 0,007]
                         = 0,555 – 0,123
                         = 0,432 µg/ml
g)    AUC ( Area Under Curva)
a)     =
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
=  µg jam/ml
AUC = 99,733 µg jam/ml
b)     =  = 2,593 µg jam/ml
c)     =  =  =  =6,471 µg jam/ml
d)     =  x 100 %
 x 100%







B.   Pembahasan
Farmakokinetik mempelajari tentang kinetika absorbsi obat, distribusi dan eliminasi (yaitu absorbsi dan metabolisme). Pada percobaan ini, tujuannya adalah untuk mempelajari distribusi obat di dalam tubuh yang diberikan secara intravena dan menentukan volume distribusinya.
Adapun beberapa parameter farmakokinetik pemberian obat secara oral yaitu Ka (tetapan laju absorbsi), Ke (tetapan laju eliminasi), t½ (waktu paruh), Vd (volume distribusi), AUC (Area di bawah kurva).
Pada percobaan ini dilakukan dengan menggunakan tikus yang sebelum diberi perlakuan terlebih dahulu dicukur bulu bagian telinganya agar vena marginalisnya lebih tampak dan pada saat pengambilan darah dapat cepat berlangsung tanpa dihambat oleh adanya bulu-bulu disekitar pengambilan darah.
Dalam percobaan ini dilakukan penetapan satuan parameter farmakokinetik suatu obat setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Dimana ketika obat diberikan secara oral, dapat menunujukan hubungan dinamik antara obat, produk obat, dan efek farmakologi, dimana pertama-tama akan mengalami pelepasan obat  dan pelarutan, selanjutnya mengalami absorbsi masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik. Pada proses ini akan terjadi dua keadaan, yaitu keadaan pertama obat yang akan  dieliminasi, dieksresi, dan dimetabolisme, dan keadaan yang kedua, obat dari sirkulasi sistemik masuk kedalam jaringan dan akan memberikan efek farmakologi atau klinik.
Sebelum tikus diberikan obat secara oral, dilakukan pengambilan sampel darah awal yang merupakan blangko. Blangko ini bukan sebagai perbandingan didalam melihat pengaruh pemberian terhadap kadar obat di dalam plasma tetapi sebagai sampel agar spektrofotometer mengenali sampel yang akan diuji. Daerah sekitar tempat pengambilan darah diolesi dengan alcohol dan juga betadine sebagai antiseptic agar tidak terjadi infeksi.
Setelah pengambilan blangko hewan coba diberi obat yaitu parasetamol® secara iintravena. Dan setelah itu sampel  darah mulai diambil pada menit 30 dan 60,   masing-masing sebanyak 0,5 mL. Darah yang diperoleh kemudian disentrifuge selama 10 menit.
Adapun prinsip kerja dari alat sektrofotometer yaitu adanya iinteraksi dari sampel dengan radiasi elektromagnetik sehingga sampel mengalami eksitasi ketingkat yang lebih tinggi dan pada keadaan ini adalah titik stabil dan akan kembali ketingkat normal dengan memancarkan energi-energi ini terukur pada alat spektrofotometer. Mekanisme sentrifuge yaitu pemisahan supernatan dengan menghomogenkan campuran dan didapatkan hasil yang jernih sehingga didapatkan supernatan.
Dari data tersebut diatas, diperoleh parameter farmakokinetik dari obat yang telah diujikan, dimana diperoleh tetapan laju eliminasi (Ke)=0,863 jam-1 yang merupakan nilai yang menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai keseimbangan, dimana eliminasi obat akan meningkat kecepatannya dengan meningkatnya konsentrasi obat,dengan kata lain makin tinggi kadar obat dalam plasma makin banyak obat yang dieliminasikan. Selanjutnya diperoleh waktu paruh(t ½ ) = 11,497 jam, yaitu waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi setengahnya, digunakan secara klinis untuk menyesuaikan interval dosis. Untuk nilai tetapan laju absobsi (Ka) adalah 1,201 jam-1, dimana nilai ini menggambarkan kecepatan absorbsi dari obat yang  masuk ke dalam sirkulasi sistemik.Nilai ini merupakan hasil dari kecepatan disolusi obat dari bentuk sediaannya, dan  bila terjadi hambatan dalam proses absobsi, maka akan diperoleh nilai Ka yang lebih kecil. .Selain itu untuk nilai volume distribusi (Vd) di peroleh 71626,658 mL yang merupakan faktor  yang diperhitungkan  dalam memperkirakan  jumlah obat dalam tubuh yang terlarut  sempurna. Dan untuk Tmax dari percobaan ini diperoleh 4,115 jam  yaitu waktu dimana waktu obat mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam tubuh, dimana nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam system sirkulasi sistemik mencapai puncak. Nilai Cp maks yaitu 0,432 µg/mL dimana Cp maks adalah konsentrasi maksimal dalam plasma darah. Sedangkan nilai AUC total  diperoleh 99,733 mg  jam/ml yang merupakan nilai yang menggambarkan berapa banyak obat yang diabsorsi  dari sejumlah obat yang diberikan atau jumlah yang menggambarkan biovailabilitas suatu obat yakni jumlah obat yang mencapai system sirkulasi sistemik yang secara utuh memberikan efek.
Adapun % AUC ekstrapolasi yang diperoleh adalah 2,599%, parameter ini dapat dijadikan sebagai acuan parameter farmakokinetik untuk obat yang diberikan secara oral karena nilainya berada dibawah 20%.




BAB V
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dari data obat yang diberikan secara oral, diperoleh parameter farmakokinetik sebagai berikut :
1.    Tetapan laju eliminasi (Ke) = 0,863 jam-1
2.    Waktu paruh (t ½) = 11,497 jam
3.    Tetapan laju Absorbsi (Ka) = 1,201 jam-1
4.    T maks = 4,115 jam
5.    Volume distribusi (Vd) = 71626,658 mL
6.    Cp maks = 0,432 µg/mL
7.    AUC total = 99,733 mg jam/ml
8.    % AUC Ekstrapolasi = 2,599 %
 Karena hasil dari % AUC ektrapolasi kurang dari 20% maka parameter ini bisa di anggap sebagai parameter karena memenuhi persyaratan dimana % AUC kurang dari 20 %




DAFTAR PUSTAKA
Ansel. 2004. Pengenalan Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta

Ganiswarna S.,G. 2005. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Universitas Indonesia. Jakarta.

Harmita. 2006. Kimia Medisinal. Farmasi FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta.

Mycek., Mary J. 2004. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi2. Penerbit : Widya Medika. Jakarta.

Olson. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.

R. Voight. 1995. Buku Tekhnologi Sediaan Farmasi. Universitas Gadjah Mada. Jakarta.

Shargel. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press. Surabaya.

Sukri.  2002. Biofarmasetika. Tim UI Press : Yogyakarta.
Tan., H., T. 2002. Obat-Obat Penting Edisi IV. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Wattimena. 1987. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.








LAMPIRAN

Skema Kerja

Siapkan Hewan Coba Tikus (Rattus Norvegicus)
 




Sebelum praktikum, terlebih dahulu
dipuasakan selama 6-8 jam
 




Diambil darahnya sebanyak 0,5 ml
         (ditempatkan pada tabung eppendorf )
 




                              Diberikan obat secara oral


Dibiarkan selama 30 menit


                         Diambil darahnya pada menit ke 30 dan 60           


                                      Disentrifugasi selama 10 menit


                             Diukur absorbansinya pada spektrofotometri
 



                                              Dicatat datanya dan
                             dihitung parameter farmakokinetiknya



A.   Daftar obat yang di gunakan
1.    Parasetamol
B.   Perhitungan dosis
Dik :    Dosis obat 500 mg
Larutan stok 20 mL
Berat rata-rata obat 599,82 mg
                            
Volume pemberian tiap tikus



Tidak ada komentar:

Posting Komentar