BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Obat yang
diberikan secara oral akan
masuk kedalam peredaran darah setelah mengalami absorbsi dalam saluran cerna.
Dari proses tersebut dapat diperoleh efek sistemik. Proses dari absorbsinya
sangat menentukan karena berkaitan langsung dengan intensitas farmakologi yaitu
onset of action.
Berbagai bahan tambahan dalam produk dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat itu sendiri. Sebagai contoh bahan
pensusupensi dapat menaikkan viskositas dari mutu yaitu sediaan yang dapat
menurunkan kelarutannya.
Bentuk
sediaan yang memberikan aksi farmakologi yang cepat tidak selalu menguntungkan,
sebab semakin cepat suatu obat terabsorbsi maka akan memberikan aktifitas obat
yang lebih lama.
Oleh
karena itu, penting artinya bagi seorang farmasis untuk dapat membentuk dan
memilih bentuk-bentuk sediaan obat yang memberikan efek terapeutik secara
maksimal.
B. Maksud Percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini adalah untuk
mengetahui serta mempelajari penentuan
beberapa parameter farmakokinetik
C. Tujuan
Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk menentukan tetapan laju eliminasi (K), waktu paruh (t1/2)
, dan tetapan laju absorbsi (Ka) dari suatu obat dengan menggunakan data contoh
darah setelah pemberian dosis tunggal
2.
Mempelajari distribusi obat di dalam tubuh yang diberikan secara oral dan
menentukan volume distribusinya.
3.
Menetukan luas daerah di bawah kurva (Area Under Cuve = AUC)
D. Prinsip
percobaan
Prinsip dari
perobaan ini adalah untuk untuk menentukan tetapan laju eliminasi (K), waktu
paruh (t1/2) , dan tetapan laju absorbsi (Ka) dari suatu obat dengan
menggunakan data contoh darah setelah pemberian dosis tunggal Parasetamol® pada hewan coba Tikus (Rattus norvegicus) pada
menit ke 30 dan 60.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori umum
Biofarmasetika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat
fisikokimia formulasi obat dengan ketersediaan hayati obat. Sedangkan
ketersediaan hayati menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai
sirkulasi sistemik. Karena biofarmasetika berperan dalam mengatur pelepasan
obat ke sirkulasi sistemik maka ketersediaan hayati mempunyai makna terapetik
dan toksik (Sukri, 2002).
Bioavaibilitas bahan aktif dalam suatu bentuk sediaan tergantung pada
beberapa faktor yang meliputi antara lain (Ansel, 2004) :
a)
disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat
aktif
b)
pelarut obat
c)
absorbsi atau permeasi obat melintasi membran sel .
Bioavailabilitas dapat diukur in vitro
(pada keadaan sesungguhnya dari pasien) dengan menentukan kadar plasma obat
sesudah tercapai steady state. Pada keadaan terjadi keseimbangan antara
kadar obat disemua jaringan tubuh, dan kadar darah praktis konstan karena
jumlah yang diserap dan yang dieliminasi adalah sama. Antara kadar plasma dan
efek terapeutik pada umumnya terdapat suatu korelasi yang baik. Pengecualian
adalah pada misalnya obat hipotensi yang masih berefek, walaupun kadarnya dalam
plasma sudah tidak dapat diukur lagi (Tan, H. T, 2002).
Sebaliknya, FA hanya dapat ditentukan in vitro dalam
laboratorium dengan mengukur kecepatan melarutnya zat aktif dalam waktu
tertentu (dissolution rate). Pengukuran ini dilakukan dengan metode dan
alat khusus menurut USP XVIII guna meniru sejauh mungkin keadaan alami dalam
saluran lambung-usus. Sayang sekali cara penentuan yang mudah dan praktis ini
hasilnya jarang menunjukkan korelasi dengan kadar obat dalam plasma in vivo,
yang lebih sukar pelaksanaannya. Oleh karena itu pengetian bioavailabilitas
(BA) lebih disukai dan sudah lazim penggunannya (Tan, H. T, 2002).
Ketersediaan hayati adalah fraksi obat yang diberikan yang mencapai
sirkulasi sistemik. Ketersediaan hayati dinyatakan sebagai fraksi dari obat
yang diberikan yang masuk ke sirkulasi sistemik dalam suatu bentuk yang secara
kimiawi berubah. Misalnya jika 100 mg obat diberikan peroral dan 70 mg dari
obat ini diabsorbsi dalam bentuk tidak berubah, maka ketersediaan hayatinya
70% (Mycek, 2004).
Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan
berbagai keadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup
harus disampaikan kepada jaringan target sehingga kadar terapeutik (tetapi
tidak toksik) didapatkan. Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat
obat ( seperti kelarutan dalam air atau lipid, ionisasi dsb) dan oleh tujuan terapi
(misalnya keinginan akan suatu awitan kerja obat yang cepat atau kebutuhan akan
pemberian jangka panjang atau terbatas pada suatu tempat lokal). Terdapat
dua rute pemberian obat yang utama enteral dan parenteral (Mycek , 2004).
Sifat formulasi obat yaitu absorbsi obat bisa diubah oleh
beberapa faktor yang tidak berhubungan dengan sifat fisika kimia obat. Sebagai
contoh ukuran partikel, bentuk garam polimorfisme kristal, dan keberadaan exipient
(seperti zat-zat pengikat atau penyebar) dapat mempengaruhi kemudahan pemecahan
obat, dan karena itu, mengubah kecepatan absorbsi (Mycek, 2004).
Faktor-faktor farmasetik yang mempengaruhi bioavaibilitas obat. Untuk
merangcang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang
paling berada dalam sistemik, farmasi harus mempertimbangkan (Ansel,
2004).
1.
Jenis produk obat;
2.
Sifat bahan tambahan dalam produk obat;
3.
Sifat fisikokimia obat itu sendiri.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi obat pada setiap sisi suatu
membran adalah afinitas obat terhadap komponen jaringan, yang mencegah obat
bergerak kembali dengan bebas lewat membran sel. Transport aktif adalah proses
trans membran yang di perantarai oleh pembawa yang memainkan peran penting
dalam sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit. Difusi yang
dipermudah juga merupakan system transport yang diperantarai pembawa, berbeda
dengan transport aktif, obat bergerak karena perbedaan konsentrasi (Ansel, 2004).
Faktor
formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah (Tan, H. T, 2002).
a.
Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal,
kehalusannya),
b.
Keadaan kimiawi(ester, garam, kompleks dan sebagainya)
c.
Zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin dan
sebagainya)
d.
Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan
(tekanan mesin tablet, alat emulgator dan sebagainya)
Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental
(suspensi) seperti gom, gelatin, dan tajin umumnya juga memperlambat larutnya
obat, sedangkan zat desintegrasi (berbagi jenis tepung, amilum) justru
mempercepat. Akhirnya semakin keras pencetakan tablet yang disimpan lama sering
kali mengeras dan lebih sukar melarut (Tan, H. T, 2002).
Saat obat didistribusikan dalam
tubuh, obat mengadakan kontak dengan sejumlah membran. Obat-obatan melalui
beberapa membran tetapi membran lainnya tidak (Tan, H. T, 2002).
Ada dua faktor yaitu (Olson, 2004) :
1.
Faktor-faktor terkait obat
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi meliputi keadaan ionisasi, berat
molekul, kelarutan dan formulasi. Obat-obat yang kecil, tak terionisasi, larut
dalam lemak menembus membran plasma paling mudah.
2.
Faktor-faktor terkait pasien
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi obat tergantung pada cara
pemberiannya. Sebagai contoh, adanya makanan dalam saluran pencernaan, keasaman
lambung, dan aliran darah ke saluran pencernaan mempengaruhi absorbsi
obat-obatan oral.
Kecepatan absorbsi obat bentuk padat
ditentukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang
dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya.
Adakalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk
memperpanjang masa absorbsi sehingga obat dpat diberikan dengan interval lama.
Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (Sustained release). Obat yang dirusak
oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung sengaja dibuat tidak
terdisintegrasi dilambung yaitu sebagai sediaan salut enteric (enteric coated) (Ganiswara,
2005).
Profil keberadaan bahan obat di dalam darah sebagai fungsi dari waktu
disebut pula profil bioavailabilitas atau profil ketersediaan hayati. Profil
ini menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase
disposisinya. Selain itu profil tersebut juga mengungjapkan nasib obat di dalam
tubuh yang tidaak diketahui sebelumnya. Oleh karena fenomena difusi zat aktif
dari darah menuju jaringan terjadi secara bolak balik (reversibel), maka selalu
terjadi hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi
zat aktif dalam darah. Selanjutnya hal ini digunakan sebagai titik tolak
orientasi (Hamita, 2006).
Apabila seseorang menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang
diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya
merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera
diserap (Drug delivery sistem dengan istilah anglo-sakson). Proses pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian
dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat
aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat
pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus, dan hal ini penting untuk
bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal (tablet, suppositoria dan lain-lain
(Wattimena, 1987).
Salah satu tujuan pokok dari pemahaman ketersediaan hayati adalah
menjelaskan adanya perbedaan efek terapetik dari sediaan obat yang mengandung
zat aktif dengan dosis lazim yang sama. Notasi yang sama bila diterapkan pada
konsep dan pengembangan dari sediaan obatbaru, memungkinkan pemilihan bentuk
sediaan yang didasarkan pada kriteria yang tepat dan yang dapat diterapkan
secara optimal pada masalah terapetik. Penerapan aktivitas suatu obat, sebagai
fungsi dari efektifitasnya dan keamanan merupakan suatu masalah yang rumit,
tetapi pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas obat dapat
membantu menemukan cara penyelesaiannya. Jadi dari sejumlah faktor-faktor
tersebut dapat dicari faktor-faktor yang berperan dan diperlukan oleh seorang
formulator untuk membuat suatu obat (Hamita, 2006).
Cara pemberian obat peroral merupakan cara pemberian obat yang paling umum
dilakukan karena mudah dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna dan
perlu kerja sama dengan penderita serta tidak dapat dilakukan pada pasien koma.
(Wattimena, 1987).
Dari bentuk kerja obat yang digambarkan, jelas bahwa ini
tidak hanya bergantung pada sifat farmakodinamika bahan obat, tetapi juga (dan
memang dalam jumlah besar) tergantung pada (Mycek, 2004) :
1.
Bentuk sediaan dan bahan pembantu yang digunakan
2.
Jenis
dan tempat pemberian
3.
Keterabsorbsian
dan kecepatan absorbsi
4.
Distribusi
dalam organisme
5.
Ikatan
dan lokalisasi dalam jaringan
6.
Biotransformasi
(proses metabolisme)
7.
Keterekskresian
dan kecepatan ekskresi, yakni parameter farmaseutika dan farmakokinetika.
Definisi
ketersediaan hayati menyangkut proses masuknya zat aktif ke dalam tubuh dan
dapat mencerminkan perubahan zat aktif ke dalam tubuh dan dapat mencerminkan
perubahan zat aktif tersebut dalam darah. Apresiasi langsung definisi tersebut
tidak terlalu mungkin, tetapi peneliti harus berusaha menggunakan berbagai cara
untuk mendekati definisi tersebut, walau interpretasi data menjadi lebih rumit (Shargel,
2012).
Studi
bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui
maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh FDA untuk
dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik sebelum
dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk obat
tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk
obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas,
kualitas, dan kemurnian. Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah
terpenuhi, FDA menghendaki studi bioavailabilitas farmakokinetik (Shargel, 2012).
Evaluasi
ketersediaan hayati suatu obat atau berbagai bentuk sediaan farmasi dengan zat
aktif yang sama mempunyai tiga tujuan, yaitu (Shargel, 2012) :
a.
Dalam
rangka pengembangan obat baru; untuk menentukan cara pemberian dan bentuk
sediaan suatu obat baru.
b.
Setelah
keputusan dibuat obat baru; untuk menetapkan mutu suatu obat dan pengaturan
kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita.
c.
Berkaitan
dengan undang-undang ; untuk memastikan kekuatan suatu obat yang diteliti
dengan mutu obat sejenis lokal yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga
memastikan pergantian obat.
Yang dimaksud dengan ketersediaan
biologi (bioavailabilitas) bahan obat dari mutu sediaan adalah laju dan
besarnya bahan obat (dalam bentuk tak berubah) yang berhasil mencapai pembuluh
darah atau tempat kerja (menurut definisi, ketersediaan biologi pada pemberian
intravena adalah 100%) kalau dahulu dianggap bahwa tak bergantung kepada
sediaan galenik, dosis yang sama, sekarang diketahui bahwa ketersediaan biologi
dan dengan demikian khasiat obat dari sediaan dagang yang satu, ke sediaan yang
lain dapat sangat beragam. Ini khusus berlaku untuk senyawa yang sukar larut.
Sebagai contoh bahan obat, yang menunjukkan perbedaan besar dalam ketersediaan
biologi pada berbagai sediaan dagang telah disebutkan asam asetil salisilat,
aluprinol, kloramfenikol, digoksi, dan tertasiklin (Mycek, 2004).
Ketersediaan
hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannnya tidak perlu diragukan
lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah yaitu (Shargel,
2012) :
a.
Farmasi
klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya
penyesuaian posologi yang tepat terhadap penderita, dengan mempertimbangkan
perubahan farmakokinetik in-vivo, baik karena interaksi obat maupun karena
perubahan fungsi fisiologik.
b.
Farmaseutik
yang berkaitan dengan rasionalisasi
pengembangan suatu obat, yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan
bentuk sediaan terhadap karakteristik farmakokinetik zat aktif.
Bioavailability (BA) adalah persentase
obat yang diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk
melakukan efek terapeutisnya. Di beberapa negara (AS, Jerman), BA mencakup pula
kecepatan dengan mana obat muncul di sirkulasi darah. Biasanya, efek obat baru
mulai nampak sesudah obat melalui sistem pembuluh porta serta hati dan kemudian
tiba di peredaran darah besar yang mendistribusikannya ke seluruh jaringan
(Tan, H. T, 2002).
Istilah
Biofarmasi diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1961 (Farmaseutik).
Biofarmasi di satu sisi mencakup hubungan antara sifat fisika kimia farmakon
dengan sediannya, disisi lain dengan kerja biologisnya, dimana farmakon dapat
berada dalam bentuk sediaan yang berlainan (R. Voight, 1995).
B. Uraian
Hewan Coba
1. Klasifikasi Hewan Coba (Jasin, 1992)
Tikus
(Rattus
norvegicus)
Kingdom
: Animalia
Phylum :
Cordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family
: Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus
norvegicus
C. Uraian Bahan
1.
Air
suling (Ditjen POM,1979 : 96)
Nama resmi : AQUA
DESTILLATA
Nama lain : Air
suling
RM/BM :
H2O/18,02
Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai
rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah
tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai
pelarut
2.
Na.CMC
(Ditjen POM, 1979 : 401)
Nama resmi : NATRII
CARBOXYMETHYLCELLULOSUM
Nama lain : Natrium
Karboksimetilselulosa
Pemerian : Serbuk atau butiran ; putih atau putih gading ; tidak berbau
atau hamper tidak berbagu ; higroskopik
Kelarutan : Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspense koloidal ; tidak
larut dalam etanol (95%) P, dalam eter P dan dalam pelarut organik lain
Penyimpanan : Dalam wadah
tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai
pelarut
3.
Paracetamol
(Ditjen POM, 1979 : 37)
Nama resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama lain : Acetaminofen,
Paracetamol
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau; rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam
13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian
propilenglikol P ; larut dalam larutan alkali hidroksida
Penyimpanan : Dalam wadah
tertutup baik, terlindung dari cahaya
Kegunaan : Sebagai obat
4.
Alkohol
(Ditjen POM, 1979 : 65)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol,
Alkohol
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak;
bau khas; rasa panas. Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah
tertutup rapat, terlindung dari cahaya; tempat sejuk, jauh dari nyala api
BAB III
Metode kerja
- Alat yang Digunakan
Adapun alat-alat yang
digunakan percobaan ini yaitu Gunting Bedah, Spoit 1 ml, Spoit 3 ml, Spoit
5 ml, Sentrifuge, Spektrofotometri, Timbangan, Tabung eppndorf dan Vial
B. Bahan yang digunakan
Bahan-bahan
yang digunakan pada percobaan ini yaitu Alkohol, Aquades, Betadine, Na.CMC, Kapas, Parasetamol, dan Plester.
C. Cara
Kerja
1. Penyiapan Hewan
a.
Hewan coba dimandikan sehari sebelum dilakukan percobaan.
b.
Hewan coba hendaknya dipuasakan selama 6-8 jam sebelum
percobaan
c.
Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu
ditimbang
d.
Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba
untuk menyatakan berat, nomor hewan coba dsb.
2.
Perlakuan
hewan coba
a.
Disiapakan
alat dan bahan yang akan digunakan dan hewan coba tikus (Rattus norvegicus)
b.
Diambil
darahnya sebanyak sebanyak 0,5 ml (ditempatkan pada tabung eppendorf)
c.
Diinjeksikan
Paracetamol
d.
Diamkan
selama 30 menit
e.
Kemudian
diambil darahnya 0,5 mL setiap 30 menit yaitu pada menit ke-30 dan 60
f.
Disentrifugasi
selama 10 menit
g.
Dihitung
absorbansinya pada spektrofotometer
h.
Dicatat
datanya
i.
Dihitung
parameter farmakokinetiknya
BAB IV
DATA PENGAMATAN
A. Tabel Pengamatan
Data kurva baku
C
|
ABSORBAN
|
2
|
0.417
|
4
|
0.721
|
6
|
0.935
|
8
|
1.425
|
10
|
1.655
|
Data sampel
Waktu (jam)
|
ABSORBAN
|
2
|
0.517
|
4
|
0.671
|
6
|
0.732
|
8
|
0.999
|
10
|
1.031
|
12
|
1.375
|
14
|
1.480
|
16
|
0.981
|
18
|
0.870
|
20
|
0.432
|
·
Perhitungan
C
|
ABSORBAN
|
2
|
0.417
|
4
|
0.721
|
6
|
0.935
|
8
|
1.425
|
10
|
1.655
|
Nilai : a = 0.076
b
= 0.159
r = 0.997
· untuk
mencari nilai Cp maka digunakan persamaan berikut :
y
=
Waktu (jam)
|
ABSORBAN
|
Cp
|
Log Cp
|
2
|
0.517
|
2.773
|
0.442
|
4
|
0.671
|
3.742
|
0.573
|
6
|
0.732
|
4.125
|
0.615
|
8
|
0.999
|
5.805
|
0.763
|
10
|
1.031
|
6.006
|
0.778
|
12
|
1.375
|
8.169
|
0.912
|
14
|
1.480
|
8.830
|
0.945
|
16
|
0.981
|
5.691
|
0.755
|
18
|
0.870
|
4.993
|
0.698
|
20
|
0.432
|
2.238
|
0.349
|
· Menentukan
orde, diambil tiga (3) data terakhir dari tabel data sampel :
Orde 0 (nol) Orde 1 (satu)
a = 19.845 a
= 2.427
b = -0.863 b
= -0.101
r = -0.945 r = 0.923
mengikuti orde 0
(nol), karena mendekati -1
· Menentukan
parameter-parameter oralnya :
a)
Ketetapan eliminasi (k)
k = -b
= - (-0.863)
= 0.863 jam-1
b)
Waktu paruh (
)
c)
Ketetapan absorbsi (Ka)
T
|
Cp lama
|
Cp baru
|
Cp Dift
|
2
|
2.773
|
18,128
|
15,355
|
4
|
3.742
|
16,402
|
12,66
|
6
|
4.125
|
14,676
|
10,551
|
Untuk mendapatkan nilai Cp baru, maka digunakan persamaan
y = a + bx dan untuk mendapatkan nilai Cp dift, maka nilai Cp baru dikurang
dengan nilai Cp lama (Cp baru – Cp lama).
y (2) = a + bx
=
19,854 + (-0,863) . 2
=
18,128
y (4) = a + bx
=
19,854 + (-0,863) . 4
=
16,402
y (6) = a + bx
=
19,854 + (-0,863) . 6
=
14,676
Nilai
orde 0 (nol) didapatkan dari t vs Cp Dift
a
=17,654 b = -1,201 r = -0,997
Ka = -(-1,201)
= 1,201 jam-
d)
Waktu maksimal (t maks)
t maks =
=
=
=
4,115 jam
e)
Volume distribusi (Vd)
Dosis obat = 500 mg = 500000 µg
Vd =
=
71626,658 ml
f)
Cp maksimal (Cp maks)
Cp maks =
[A.Ҽ-k.t maks ] - [B Ҽ-ka.t maks ]
=
[19,845 . Ҽ-0,863 x 4,115 ] - [17,654 . Ҽ-1,201 x 4,115 ]
=
[19,845 . Ҽ-3,551 ] - [17,654 . Ҽ-4,942]
=
[19,845 . 0.028 ] - [17,654 . 0,007]
=
0,555 – 0,123
=
0,432 µg/ml
g)
AUC ( Area Under Curva)
a)
=
b)
=
= 2,593 µg jam/ml
c)
=
=
=
=6,471 µg jam/ml
d)
=
x 100 %
B. Pembahasan
Farmakokinetik mempelajari
tentang kinetika absorbsi obat, distribusi dan eliminasi (yaitu absorbsi dan
metabolisme). Pada percobaan ini, tujuannya adalah untuk mempelajari distribusi
obat di dalam tubuh yang diberikan secara intravena dan menentukan volume
distribusinya.
Adapun beberapa parameter
farmakokinetik pemberian obat secara oral yaitu Ka (tetapan laju absorbsi), Ke
(tetapan laju eliminasi), t½ (waktu paruh), Vd (volume distribusi), AUC (Area
di bawah kurva).
Pada percobaan ini dilakukan
dengan menggunakan tikus yang sebelum diberi perlakuan terlebih dahulu dicukur
bulu bagian telinganya agar vena marginalisnya lebih tampak dan pada saat
pengambilan darah dapat cepat berlangsung tanpa dihambat oleh adanya bulu-bulu
disekitar pengambilan darah.
Dalam percobaan ini
dilakukan penetapan satuan parameter farmakokinetik suatu obat setelah
pemberian dosis tunggal secara oral. Dimana ketika obat diberikan secara oral,
dapat menunujukan hubungan dinamik antara obat, produk obat, dan efek
farmakologi, dimana pertama-tama akan mengalami pelepasan obat dan pelarutan, selanjutnya mengalami absorbsi
masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik. Pada proses ini akan terjadi dua
keadaan, yaitu keadaan pertama obat yang akan
dieliminasi, dieksresi, dan dimetabolisme, dan keadaan yang kedua, obat
dari sirkulasi sistemik masuk kedalam jaringan dan akan memberikan efek
farmakologi atau klinik.
Sebelum tikus
diberikan obat secara oral, dilakukan pengambilan sampel darah awal yang merupakan
blangko. Blangko ini bukan sebagai perbandingan didalam melihat pengaruh
pemberian terhadap kadar obat di dalam plasma tetapi sebagai sampel agar
spektrofotometer mengenali sampel yang akan diuji. Daerah sekitar tempat
pengambilan darah diolesi dengan alcohol dan juga betadine sebagai antiseptic
agar tidak terjadi infeksi.
Setelah pengambilan blangko hewan coba diberi obat yaitu parasetamol® secara iintravena. Dan
setelah itu sampel darah mulai diambil pada menit 30 dan 60, masing-masing sebanyak 0,5 mL. Darah yang
diperoleh kemudian disentrifuge selama 10 menit.
Adapun prinsip kerja dari alat sektrofotometer yaitu adanya iinteraksi dari
sampel dengan radiasi elektromagnetik sehingga sampel mengalami eksitasi
ketingkat yang lebih tinggi dan pada keadaan ini adalah titik stabil dan akan
kembali ketingkat normal dengan memancarkan energi-energi ini terukur pada alat
spektrofotometer. Mekanisme sentrifuge yaitu pemisahan supernatan dengan
menghomogenkan campuran dan didapatkan hasil yang jernih sehingga didapatkan
supernatan.
Dari data tersebut diatas,
diperoleh parameter farmakokinetik dari obat yang telah diujikan, dimana
diperoleh tetapan laju eliminasi (Ke)=0,863 jam-1 yang merupakan nilai yang menunjukkan
laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai keseimbangan, dimana
eliminasi obat akan meningkat kecepatannya dengan meningkatnya konsentrasi
obat,dengan kata lain makin tinggi kadar obat dalam plasma makin banyak obat
yang dieliminasikan. Selanjutnya diperoleh waktu paruh(t ½ ) = 11,497 jam, yaitu waktu yang diperlukan agar
kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi setengahnya, digunakan
secara klinis untuk menyesuaikan interval dosis. Untuk nilai tetapan laju
absobsi (Ka) adalah 1,201 jam-1, dimana nilai ini menggambarkan kecepatan absorbsi dari
obat yang masuk ke dalam sirkulasi
sistemik.Nilai ini merupakan hasil dari kecepatan disolusi obat dari bentuk
sediaannya, dan bila terjadi hambatan
dalam proses absobsi, maka akan diperoleh nilai Ka yang lebih kecil. .Selain
itu untuk nilai volume distribusi (Vd) di peroleh 71626,658 mL yang merupakan faktor yang diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh yang terlarut sempurna. Dan untuk Tmax dari percobaan ini diperoleh 4,115 jam
yaitu waktu dimana waktu obat mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam
tubuh, dimana nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam system sirkulasi
sistemik mencapai puncak. Nilai Cp maks yaitu 0,432 µg/mL dimana Cp maks adalah
konsentrasi maksimal dalam plasma darah. Sedangkan
nilai AUC total diperoleh 99,733 mg
jam/ml
yang merupakan nilai yang menggambarkan berapa banyak obat yang diabsorsi dari sejumlah obat yang diberikan atau jumlah
yang menggambarkan biovailabilitas suatu obat yakni jumlah obat yang mencapai
system sirkulasi sistemik yang secara utuh memberikan efek.
Adapun % AUC ekstrapolasi
yang diperoleh adalah 2,599%,
parameter ini dapat dijadikan sebagai acuan parameter farmakokinetik untuk obat
yang diberikan secara oral
karena nilainya berada dibawah 20%.
BAB
V
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil perhitungan dari data obat yang diberikan secara oral, diperoleh
parameter farmakokinetik sebagai berikut :
1. Tetapan laju
eliminasi (Ke) = 0,863 jam-1
2. Waktu paruh
(t ½) = 11,497 jam
3. Tetapan laju
Absorbsi (Ka) = 1,201 jam-1
4. T maks = 4,115 jam
5. Volume
distribusi (Vd) = 71626,658 mL
6. Cp maks = 0,432 µg/mL
7. AUC total = 99,733 mg jam/ml
8. % AUC
Ekstrapolasi = 2,599 %
Karena hasil dari % AUC ektrapolasi kurang
dari 20% maka parameter ini bisa di anggap sebagai parameter karena memenuhi persyaratan
dimana % AUC kurang dari 20 %
DAFTAR
PUSTAKA
Ansel. 2004. Pengenalan
Bentuk Sediaan Farmasi. UI
Press. Jakarta
Ganiswarna S.,G. 2005. Farmakologi
dan Terapi Edisi IV. Universitas Indonesia. Jakarta.
Harmita. 2006. Kimia Medisinal. Farmasi
FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta.
Mycek., Mary J. 2004. Farmakologi
Ulasan Bergambar Edisi2. Penerbit : Widya Medika. Jakarta.
Olson.
2004. Belajar Mudah Farmakologi. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
R. Voight. 1995. Buku Tekhnologi
Sediaan Farmasi. Universitas Gadjah Mada. Jakarta.
Shargel.
2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga
University Press. Surabaya.
Sukri. 2002. Biofarmasetika.
Tim UI Press : Yogyakarta.
Tan., H., T. 2002. Obat-Obat Penting
Edisi IV. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Wattimena. 1987. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik.
Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.
LAMPIRAN
Skema
Kerja
Siapkan
Hewan Coba Tikus (Rattus
Norvegicus)
Sebelum praktikum, terlebih dahulu
dipuasakan selama 6-8 jam
Diambil darahnya sebanyak 0,5 ml
(ditempatkan pada tabung eppendorf )
Diukur absorbansinya pada spektrofotometri
Dicatat datanya dan
dihitung
parameter farmakokinetiknya
A.
Daftar
obat yang di gunakan
1. Parasetamol
B.
Perhitungan
dosis
Dik : Dosis obat 500 mg
Larutan stok 20 mL
Berat rata-rata obat 599,82 mg
Volume pemberian tiap tikus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar