Jumat, 15 April 2016

Farmakokinetik-Laporan Intravena

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kemaknaan identifikasi farmakokinetik suatu obat tidak haya terletak dalam menetukan faktor –  faktor yang mempengaruhi kadar dan keberadaanya  di dalam tubuh juga dalam menentukan kegunaan terapeutik  obat – obat yang mempunyai toksik  yang tinggi. Pada kenyataannya, kebanyakan obat mengalami keseimbangan antara dua atau tiga kompartemen dank arena itu menunjukkan sifat kinetik yang rumit. Namun model yang sederhana tersebut cukup untuk menjelaskan konsep farmakokinetik.
Seperti yang kita ketahui bahwa farmakokinetik itu adalah bagaimana respon dari tubuh kita terhadap obat yang masuk ke dalam tubuh kita. Untuk itu dalam percobaan ini kita ingin melihat bagaimana farmakokinetik dari obat yang kita gunakan dan parameter – parameter apa saja yang dapat mempengaruhi efek farmakokinetik dari suatu obat di dalam tubuh serta bagaimana mekanisme obat tersebut hingga nantinya dapat memberikan efek.
Setiap obat yang masuk ke dalam tubuh dalam rute pemberian apapun selalu berkaitan dengan farmakokinetik. Sebab setiap obat pasti akan mengalami proses baik itu mulai dari proses penyerapan maupun langsung mengalami distribusi seperti pada pemberian intravena yang langsung masuk ke dalam peredaran darah tanpa mengalami proses absorbsi. Pemberian ini kebanyakan digunakan pada pasien yang sangat susah mengkonsumsi obat lewat mulut ataupun pasien yang tidak memungkinkan mengkonsumsi obat secara oral seperti pasien yang memerlukan penanganan cepat, pingsan, dan berbagai kondisi lain.
B. Maksud Praktikum
Menganalisis dan mempelajari parameter farmakokinetik obat Farmadol® yang diberikan secara intravena lewat sampel darah dengan menggunakan hewan coba tikus (Rattus Norvegicus).
C.   Tujuan Praktikum
Menentukan beberapa parameter farmakokinetik obat Farmadol® yang diinjekskan secara intravena dengan menggunakan sampel darah hewan coba tikus (Rattus Norvegicus).
D. Prinsip percobaan
Prinsip dari perobaan ini adalah untuk untuk menentukan parameter farmakokinetik suatu obat dengan menggunakan data contoh darah setelah pemberian dosis tunggal Farmadol® pada hewan coba Tikus (Rattus norvegicus) pada menit ke 30’, 60’, dan 90’.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Teori Umum
Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat dan produk  obat bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat – sifat fisiko kimia dari produk obat dan efek farmakologik atau efek klinik (Shargel, 2012).
Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetika melibatkan faktor – faktor yang mempengaruhi pelepasan obat  dari suatu produk obat, laju pelarutan dan akhirnya bioavailabilitas obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika absorbsi obat, distribusi dan eliminasi (yakni ekskresi dan metabolisme) uraian distribusi dan eliminasi obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat (Shargel, 2012).
Farmakokinetik didefinisikan sebagai perubahan-perubahan kuantitatif dan tergantung kepada waktu dari konsentrasi obat dalam plasma dan jumlah total obat di dalam tubuh yang terjadi setelah pemberian obat dengan cara yang bermacam-macam (dua cara pemberian yang paling biasa adalah infusintravena dan regimen oral dengan dosis interval yang tetap, misalnya suatu tablet setiap 4 jam. Kemaknaan identifikasi farmakokinetik suatu obat tidak hanya terletak dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kadar dan keberadaannya dalam tubuh, tetapi juga dalam menentukan kegunaan terapeuti obat-obat yang mempunyai potensi toksik yang tinggi (Mycek, 2004).
Fase farmakokinetik  berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh. Pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisiko – kimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsure penting yang menentukan profil keadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya menetukan aktivitas terapetik obat (Devissaguet, Aiache, 1993).
Farmakokinetika  meneliti perjalanan obat, mulai dari saat pemberiannya, bagaimana absorbsi dari usus, transport dalam darah, dan distribusinya ke tempat kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula  bagaimana perombakannya (biotranformasi) dan akhirnya ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya farmakokinetika mempelajari segala sesuatu tindakan yang dilakukan tubuh terhadap obat (Tan. H.T, 2002).
Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi obat dengan reseptornya ; maka secara teoritis intensitas efek obat, baik efek terapi maupun efek toksik, tergantung dari kadar obat di temapt reseptor atau tempat kerjanya. Oleh karena itu kadar obat di temapt kerja belum dapat diukur, maka sebagai penggantinga diambil serum  / plasma yang umumnya dalam keseimbangan dengan kadarnya ditempat kerja. Telah dibuktikan  bahwa  untuk kebanyakan obat terdapat hubungan linier antara efek farmakologik obat dengan kadarnya dalam plasma atau serum ; tetapi tidak demikian halnya  antara efek  dengan dosis obat. Hal ini disebabkan karena kadar obart dalam plasma ditentukan tidak hanya oleh dosis obat tetapi juga olef factor – factor farmakokinetik yang ternyata sanagt bervariasi antar individu (Ganiswarna, 2005).
Faktor fisiopatologik yang berpengaruh pada fase farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat di dalam tubuh (Devissaguet, Aiache, 1993).
Keturunan
Jenis kelamin
Umur
Morfologi
Farmakogenetik
Kronofarmakologo
Posisi tubuh
Aktivitas relative
Keadaan gizi
Kehamilan
Menopause
Suhu
pH air kemih
Aliran air kemih
Aliran darah
Lingkungan
Keadaan patologi
Efek non spesifik
Pelepasan obat dari sediaan dalam perkembangan pengetahuan biofarmasi sekarang sudah dapat dikontrol, demikian juga absorbsi obat sudah dapat dipertimbangkan dengan seksama faktor – faktor yang mempengaruhinya. Kecepatan eliminai obat dari tubh sangat ditentukan  oleh parameter farmakokinetik obat tersebut. Dalam mengatur kecepatan pelepasan obat, diharapkan kita akan dapat suatu blood level yang terkontrol (Syukri, 2002).
Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah. Kecepatan dan efisiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intra vena, absorbsi sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik. Pemberian obat dengan sirkulasi lain hanya bisa menghasilkan absorbsi yang parsial dan karena itu merendahkan ketersediaan hayati. Tergantung pada sifat-sifat kimianya, obat-obat bisa diabsorbsi dari saluran cerna secara difusi pasif atau transpor aktif (Mycek, 2004).
Absorbsi obat didefinisikan sebagai penetrasi suatu obat melewati membran tempat pemberian dan obat  tersebut berada dalam bentuk yang tidak mengalami perubahan. Dari defenisi diatas, ada 2 butir penting yang perlu diperhatikan yaitu (Syukri, 2002)  :
1.    Paling sering diasumsikan  bahwa hilangnya obat dari saluran cerna menandakan adanya absorbsi. Hal ini ternyata benar bila hilangnya obat dari saluran cerna diikuti dengan munculnya obat dalam darah. Adakalanya hilangnya obat, yang mungkin terjadi dalam cairan saluran cerna ataupun pada diding usus.
2.    Istilah membran saluran cerna kadang – kadang membuat salah pengertian. Karena membran disini tidak terdiri dari satu lapis sel. Kenyataannya sejumlah membran uniseluler paralel satu sama lainnya, jadi ukuran molekul dari sebagian besar molekul senyawa harus berdifusi pada suatu jarak yang sangat jauh. Obat yang berdifusi ini untuk sampai ke sirkulasi darah perlu melewati suatu mukosa
Sebagian besar obat diberikan secara per oral  dan obat – obatan ini harus melewati dinding usus untuk memasuki aliran darah. Proses absorbsi ini dipengaruhi oleh banyak faktor namun biasanya sesuai dengan kelarutan obat dalam lemak. Oleh karena itu, absorbsi molekul  yang tidak terionisasi  dipermudah karena molekul ini jauh lebih larut lemak daripada  molekul – molekul terionisasi dan molekul terionisasi ini diselubungi  oleh suatu cangkang  molekul air. Obat diabsorbsi  terutama di usus halus karena permukaannya luas. Hal ini berlaku bahkan untuk asam lemah misalnya aspirin yang tidak terionisasi dalam asam (HCl) lambung. Obat yang diabsorbsi dari saluran  gastrointestinal memasuki sirkulasi portal dan beberapa obat dimetabolisme secara luas saat obat melewati hati (metabolisme lintas pertama) (Michael , 2006).
Obat yang cukup larut lemak untuk dapat diabsorbsi secara oral dengan cepat terdistribusi ke seluruh kompartemen cairan tubuh. Banyak obat berikatan lemah dengan albumin plasma, dan terbentuklah keseimbangan antara obat terikat dan obat bebas dalam plasma. Obat yang terikat pada protein plasma hanya terdapat pada sistem vaskuler dan tidak menimbulkan aksi farmakologis (Michael , 2006).
Jika obat diberikan secara suntikan intravena, maka obat masuk ke dalam darah dan secara cepat terdistribusi ke jaringan. Penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari waktu ke waktu (yaitu kecepatan eliminasi obat) dapat diukur dengan mengambil sampel darah secara berulang. Pada awalnya seringkali konsentrasi menurun dengan cepat, namun kemudiankecepatan penurunan berkurang secara progresif. Kuva tersebut disebut eksponensial, dan hal ini berarti  pada waktu tertentu  terdapat eliminasi fraksi konstan  obat dalam suatu satuan waktu. Banyak obat menunjukkan suatu penurunan eksponensial dalam konsentrasi plasma  karena kecepatan kerja proses eliminasi  obat biasanya proporsional terhadap konsentrasi obat  dalam plasma yang terlibat adalah  (Michael , 2006) :
1. Eliminasi melalui urin oleh filtrasi glomerulus
2. Metabolisme, biasanya oleh hati
3. Ambilan oleh hati dan selanjutnya dieliminasi  memalui empedu.
Volume distribusi yang nyata adalah hitungan nilai yang menggambarkan sifat distribusi obat. Vd adalah volume yang dibutuhkan untuk membuat dosis yang diberikan jika dosis itu didistribusikan dengan merata pada konsentrasi yang diukur di dalam plasma. Anda dapat meramalkan bahwa obat dengan Vd = 3 liter diditribusikan hanya dalam plasma (volume plasma 3 liter), sedang obat dengan Vd = 16 liter mungkin didistribusikan dalam cairan ekstraselular (cairan ekstraselular = 3 liter plasma ditambah 10-13 liter cairan interstitial). Obat dengan Vd lebih dari 46 liter mungkin dibuang kedalam depot karena tubuh hanya mengandung 40-46 liter cairan (Olson, 2002).
Kurva kadar plasma – waktu dihasilkan denganmengukur konsentrasi obat dalam cuplikan plasma yang diambil pada berbagai jarak waktu setelah pemeberian  suatu produk obat. Konsentrasi obat dalam tiap cuplikan plasma digambar pada koodinat kertas grafik rektangular terhadap waktu pengambilan cuplikan  plasma. Selama obat mencapai sirkulasi umum sistemik, konsentrasi obat dalam plasma akan naik sampai maksimum. Pada umumnya absorbsi suatu obat terjadi lebih cepat dari pada eliminasi. Selama obat diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik, obat didistribusikan ke semua jaringan dalam tubuh dan juga secara serentak dieliminasi. Eliminasi suatu obat dapat tercapai melalui ekskresi atau biotransformasi atau kombinasi dari keduanya (Shargel, 2012).
Waktu kerja obat sama dengan waktu yang diperlukan obat untuk mencapai MEC (Minumum Effective Consentration). Intensitas efek farmakologik adalah sebanding dengan jumlah reseptor obat yang ditempati, yang dicerminkan  dalam pengamatan, di mana konsentrasi obat salam plasma lebih tinggi menghasilkan  respons farmakologik yang lebih besar, sampai maksimum. Lama kerja obat adxalah selisih waktu antara waktu mula kerja obat dan awaktu yang diperlukan obat turun lagi ke MEC. Waktu yang kadar puncak dalam plasma adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentarsi obat maksimum dalam plasma  yang secara kasar sebanding dengan laju absorbsi  obat rata – rata.  Kadar puncak dalam plasma  atau konsentrasi maksimum obat biasanya dikaitkan  dengan dosis atau tetapan laju absorbsi dan eliminasi obat. Sedangkan AUC dikaitkan dengan jumlah obat yang terabsorbsi secara sistemik (Shargel, 2012).
Dengan infus intravena yang kontinue, kecepatan obat masuk ke dalam tubuh adalah tetap. Dalam kebanyakan kasus eliminasi obat adalah first order artinya suatu fraksi obat yang tetap dibersihkan persatuan waktu. Oleh karena itu, kecepatan keluarnya obat dari tubuh meningkatkan secara proporsional bila konsentrasi plasma meningkat dan pada setiap saat selalu proporsional terhadap konsentrasi obat dalam plasma (Mycek, 2004).
Dengan model farmakokinetik yang kompleks dapat dengan modek farmakokinetik yang kompleks dapat digunakan program computer untuk menghitung semua parameter menjadi, jumlah titik data seharusnya selalu melebihi jumlah parameter dalam model. Model farmakokinetik berguna untuk (Syukri, 2002) :
1.    Memperkirakan kadar obat dalam plasma, jaringan dan urin pada berbagai pengaturan dosis.
2.    Memperkirakan model kemungkinan akumulasi obat dan atau metabolit-metabolit.
3.    Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara individual
4.    Menghubungkan konsentrasi obat dengan aktifitas farmakologik atau toksikologik.
5.    Menilai perbedaan laju atau tingkat availabilitas antara formulasi (bioekivalen).
6.    Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorpsi atau eliminasi obat.
7.    Menjelaskan interaksi obat.
Tubuh kita dapat dianggap sebagai ruang yang besar yang terdiri dari beberapa kompartimen (bagian) berisi cairan, dan antar kompartemen tersebut dipisahkan oleh membrane sel. Kompartemen yang terpenting adalah antara lain saluran lambung usus, system peredaran darah, ruang ekstra sel, ruang intra sel dan ruang cerebrospinal dan sumsum tulang belakang. Resorbsi, distribusi dan ekskresi obat di dalam tubuh pada hakikatnya berlangsung dengan mekanisme yang sama, karena semua proses ini tergantung dari lintasan obat melalui serangkaian membrane sel tersebut (Tan. H. T, 2002).
Jenis – jenis model farmakokinetik tubuh manusia. Model 1 kompartemen. Menurut model ini, tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen tempat obat menyebar dengan seketika dan merata ke selruh cairan dan jaringan tubuh. Model ini terlalu sederhana sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat (Ganiswarna, 1995) .
Model 2 kompartemen. Tubuh dianggap terdiri atas kompartemen sentral dan kompartemen perifer. Kompartemen sentral terdiri dari darah dan berbagai jaringan yang banyak dialiri darah seperti jantung, paru, hati, ginjal dan kelenjar – kelenjar endokrin. Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang dialiri darah misalnya otot, kulit, dan jaringan lemak. Model 2 kompartemen ini pada prinsipnya sama dengan model kompartemen 1, bedanya hanya dalam proses distribusi karena adanya kompartemen perifer, eliminasi tetap dari kompartemen sentral. Model ini ternyata cocok untuk banyak obat (Ganiswarna, 2005).
Model 3 kompartemen, Kompartemen perifer dibagi atas kompartemen perifer yang dangkal dan kompartemen perifer yang dalam. Model mana yang cocok untuk suatu obat dan dapat diperkirakan dari profil kurva kadar obat dalam plasma terhadap waktu (Ganiswarna, 2005).
Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusi keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal dan otak (Ganiswarna, 2005).
Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ diatas misalnya otot, visera kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang intrastinal jaringan terhadi cepat karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemakakan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel sedangkan obat yang tidak larut ke dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstra sel. (Ganiswarna, 2005).
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi disini adalah proses ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara insitu dapat timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan yang segera (Wattimena, 1987).
Respon biologis terhadap suatu obat, merupakan suatu hasil interaksi antara obat dengan molekul-molekul yang penting secara fungsional dalam sistem hidup atau reseptor. Respon disebabkan oleh suatu perubahan dalam suatu proses biologis yang ada sebelum pemberian obat. Besar respon berhubungan dengan konsentrasi obat yang dicapai pada tempat obat tersebut bekerja. Konsentrasi ini tergantung pada banyaknya dosis obat yang diberikan, besarnya absorbsi dan distribusi ke tempat tersebut dan laju serta besarnya obat yang dieliminasikan di dalam atau dari tubuh (Ansel, 1989).
Saat obat didistribusikan dalam tubuh, obat mengadakan kontak dengan sejumlah membran. Obat-obatan melalui beberapa membran tetapi membran lainnya tidak. Ada dua faktor yaitu (Olson, 2004) :
1.    Faktor-faktor terkait obat
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi meliputi keadaan ionisasi, berat molekul, kelarutan dan formulasi. Obat-obat yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak menembus membran plasma paling mudah.
2.    Faktor-faktor terkait pasien
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi obat tergantung pada cara pemberiannya. Sebagai contoh, adanya makanan dalam saluran pencernaan, keasaman lambung, dan aliran darah ke saluran pencernaan mempengaruhi absorbsi obat-obatan oral.
Selama obat mencapai sirkulasi umum (sistemik), konsentrasi obat dalam plasma akan naik sampai maksimum. Pada umumnya absorbsi suatu obat terjadi lebih cepat daripada eliminasi. Selama obat diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistrmik, obat didistribusikan kesemua jaringan dalam tubuh dan juga secara serentak dieliminasi. Eliminasi sutu obat dapat terjadi melalui ekskresi atau biotransformasi atau kombinasi dari keduanya (Shargel, 2012).


B.   Uraian Obat
1.  Farmadol® (Paracetamol) (Ditjen POM, 1979 : 37)
Nama resmi               :     ACETAMINOPHENUM
Nama lain                  :     Acetaminofen, Paracetamol
Pemerian                   :     Hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau; rasa pahit
Kelarutan                  :     Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P ; larut dalam larutan alkali hidroksida
Penyimpanan           :     Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Kegunaan                 :     Sebagai obat
Indikasi                      :     Sakit kepala, demam, nyeri otot & sakit gigi, Untuk pengobatan jangka pendek, nyeri sedang (terutama sesudah operasi) dan demam .
Kontraindikasi          :     Insufisiensi hepatoselular berat
Farmakokinetik         :     Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Darsono, 2002)
Farmakodinamik      :     Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Mardjono, 2009).
Efek samping           :     Reaksi hematologi, reaksi kulit & reaksi alergi lainnya.
Interaksi obat            :     Alkohol, antikoagulan oral,kloramfenikol, aspirin, fenobarbital, obat yang bersifat hepatotoksik, penginduksi enzim hati.
C.   Uraian Hewan Coba
1.  Klasifikasi Hewan Coba (Jasin, 1992)
Tikus (Rattus norvegicus
Kingdom                    :      Animalia
Phylum                      :      Cordata
Sub Phylum              :      Vertebrata
Class                          :      Mamalia
Ordo                           :      Rodentia
Family                        :      Muridae
Genus                        :      Rattus
Spesies                      :      Rattus norvegicus



BAB III
METODE KERJA
A.       Alat Yang Digunakan
Adapun alat-alat yang digunakan yaitu Gunting, Spektrofotometri, Spoit 1 ml, Spoit 3 ml, Spoit 5 ml, Tabung eppendorf, Timbangan, dan Vial.
B.       Bahan Yang Digunakan
Adapun bahan yang digunakan yaitu Alkohol, Aquades, Betadine, Na.CMC, Kapas, Parasetamol®, dan Plester.
C.       Cara Kerja
1.      Penyiapan Hewan
a.    Hewan coba dimandikan sehari sebelum dilakukan percobaan.
b.    Hewan coba hendaknya dipuasakan selama 6-8 jam sebelum percobaan
c.    Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu ditimbang
d.    Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba untuk menyatakan berat, nomor hewan coba dsb.
2.    Perlakuan hewan
1.    Disiapakan alat dan bahan yang akan digunakan dan hewan coba tikus (Rattus norvegicus).
2.    Diambil darahnya sebanyak sebanyak 0,5 ml (ditempatkan pada tabung eppendorf).
3.    Diinjeksikan Paracetamol® melalui ekor tikus.
4.    Diamkan selama 30 menit.
5.    Kemudian diambil darahnya 0,5 mL setiap 30 menit yaitu pada menit ke-30 dan 60.
6.    Disentrifugasi selama 10 menit.
7.    Dihitung absorbansinya pada spektrofotometer.
8.    Dicatat datanya.
9.    Dihitung parameter farmakokinetiknya.


BAB IV
DATA PENGAMATAN
A.   Tabel Pengamatan
Data kurva baku
C
ABSORBAN
2
0.417
4
0.721
6
0.935
8
1.425
10
1.655
Data sampel
Waktu (jam)
ABSORBAN
2
0.584
4
0.499
6
0.329
8
0.233
10
0.181
12
0,112
14
0,109


·         Perhitungan
C
ABSORBAN
2
0.417
4
0.721
6
0.935
8
1.425
10
1.655




           
Nilai :  a = 0.076
                        b = 0.159
                        r  = 0.997
·      untuk mencari nilai Cp maka digunakan persamaan berikut :
            y =
 =  = 3,194
 =  = 2,660
 =  = 1,591
 =  = 0,987
 =  = 0,660
 =  = 0,226
 =  = 0,207
Waktu (jam)
ABSORBAN
Cp (ml)
Log Cp
2
0.584
3,194
0,504
4
0.499
2,660
0,424
6
0.329
1,591
0,201
8
0.233
0,987
-0,005
10
0.181
0,660
-0,180
12
0,112
0,226
-0,645
14
0,109
0,207
-0,684

·         Orde 0 (nol) t vs Cp 
a          = 3,469
b          = -0,263
r           = -0,965
·         Orde 1 (satu) t vs log Cp
a          = 0,814          
            b          = - 0,108
            r           = -0,982
·         Mengikuti orde 1, karena mendekati -1
·         Menentukan parameter-parameter Intravena
a)     Ketetapan eliminasi (k)
K  = -b x 2,3
     = -(-0,108) x 2,3
     = 0,248 jam-1
b)     Waktu paruh (t½)
t½ =
     =  = 2,794 jam
c)     Volume distribusi (Vd)
Dosis obat = 1000 mg
Vd =
      =
             = 153,468 ml
d)     AUC (Area Under Curve)
 =
=  mg jam/ml
=  mg jam/ml
=  mg jam/ml
=  mg jam/ml
= mg jam/ml
= mg jam/ml
AUC = 16,183 mg jam/ml
b.  =  = 0,834 mg jam/ml
 =  =  =  = 26,274 mg jam/ml
 =  x 100 %
 x 100%











DAFTAR PUSTAKA
Ansel.,Howard., C. 2004. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta.
Devissaguet., Aiache. 1982. Farmaseutika 2 Biofarmasi Edisi ke-2.  Tehnique et Documentation 11 Rue Lavoiser . Air langga University Press

Ganiswarna., 2005. Farmakologi Dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta.
Michael., J., Neal. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi ke Lima. Penerbit Erlangga PT Gelora Aksara Pratama. Jakarta.

Mycek., 2004. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.
Olson James. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 5
Shargel, Leon. 2012. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan. Air Langga University. Jakarta.
Syukri.,Y. 2002. Biofarmasetika. UI Press. Yogyakarta.
Tan., H., Tjay dan Kirana Rahardja. 2002. Obat – Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Wattimena. 1987. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.








LAMPIRAN
Skema Kerja
Siapkan Hewan Coba Tikus (Rattus Norvegicus)

Sebelum praktikum, terlebih dahulu
dipuasakan selama 6-8 jam
 

Diambil darahnya sebanyak 0,5 ml(ditempatkan pada tabung eppendorf )
 

     Diberikan obat secara oral


    Dibiarkan selama 30 menit


Diambil darahnya pada menit ke- 30 dan 60


Disentrifugasi selama 10 menit


Diukur absorbansinya pada spektrofotometri


Dicatat datanya dan
dihitung parameter farmakokinetiknya



A.   Daftar obat yang digunakan
1.    Farmadol
B.   Perhitungan dosis
Dosis = 15 mg / kg BB = 15 mg / 1000 gr BB = 0,015 mg/gr BB
Ø  UntukTikus 4 (209 g) = 209 x 0,015 = 3,13 mg
V1 : M1            = V2 : M2
1 : 10              = X : 3,13
10 X                = 3,13
Ø  UntukTikus 5 (245 g) = 245 x 0,015 = 3,675 mg
V1 : M1            = V2 : M2
1 : 10              = X : 3,675
10 X                = 3,675          


Tidak ada komentar:

Posting Komentar