BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kemaknaan
identifikasi farmakokinetik suatu obat tidak haya terletak dalam menetukan faktor – faktor yang mempengaruhi kadar dan
keberadaanya di dalam tubuh juga dalam
menentukan kegunaan terapeutik obat –
obat yang mempunyai toksik yang tinggi.
Pada kenyataannya, kebanyakan obat mengalami keseimbangan antara dua atau tiga
kompartemen dank arena itu menunjukkan sifat kinetik yang
rumit. Namun model yang sederhana tersebut cukup untuk menjelaskan konsep
farmakokinetik.
Seperti
yang kita ketahui bahwa farmakokinetik itu adalah bagaimana respon dari tubuh
kita terhadap obat yang masuk ke dalam tubuh kita. Untuk itu dalam percobaan
ini kita ingin melihat bagaimana farmakokinetik dari obat yang kita gunakan dan
parameter – parameter apa saja yang dapat mempengaruhi efek farmakokinetik dari
suatu obat di dalam tubuh serta bagaimana mekanisme obat tersebut hingga
nantinya dapat memberikan efek.
Setiap obat yang
masuk ke dalam tubuh dalam rute pemberian apapun selalu berkaitan dengan
farmakokinetik. Sebab setiap obat pasti akan mengalami proses baik itu mulai
dari proses penyerapan maupun langsung mengalami distribusi seperti pada
pemberian intravena yang langsung masuk ke dalam peredaran darah tanpa
mengalami proses absorbsi. Pemberian ini kebanyakan digunakan pada pasien yang
sangat susah mengkonsumsi obat lewat mulut ataupun pasien yang tidak
memungkinkan mengkonsumsi obat secara oral seperti pasien yang memerlukan
penanganan cepat, pingsan, dan berbagai kondisi lain.
B. Maksud
Praktikum
Menganalisis dan
mempelajari parameter farmakokinetik obat Farmadol® yang diberikan
secara intravena lewat sampel darah dengan menggunakan hewan coba tikus (Rattus Norvegicus).
C.
Tujuan
Praktikum
Menentukan beberapa
parameter farmakokinetik obat Farmadol® yang diinjekskan secara
intravena dengan menggunakan sampel darah hewan coba tikus (Rattus Norvegicus).
D. Prinsip percobaan
Prinsip
dari perobaan ini adalah untuk untuk menentukan parameter farmakokinetik suatu obat dengan menggunakan data contoh darah setelah pemberian
dosis tunggal Farmadol® pada hewan coba Tikus (Rattus norvegicus) pada menit ke 30’, 60’, dan 90’.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Teori
Umum
Ilmu biofarmasetik dan
farmakokinetik obat dan produk obat
bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat – sifat fisiko kimia dari
produk obat dan efek farmakologik atau efek klinik (Shargel, 2012).
Studi biofarmasetika memerlukan
penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi laju dan jumlah obat yang
mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetika melibatkan faktor
– faktor yang mempengaruhi pelepasan obat
dari suatu produk obat, laju pelarutan dan akhirnya bioavailabilitas
obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika absorbsi obat, distribusi
dan eliminasi (yakni ekskresi dan metabolisme) uraian distribusi dan eliminasi
obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat (Shargel, 2012).
Farmakokinetik didefinisikan sebagai perubahan-perubahan
kuantitatif dan tergantung kepada waktu dari konsentrasi obat dalam plasma dan
jumlah total obat di dalam tubuh yang terjadi setelah pemberian obat dengan
cara yang bermacam-macam (dua cara pemberian yang paling biasa adalah
infusintravena dan regimen oral dengan dosis interval yang tetap, misalnya
suatu tablet setiap 4 jam. Kemaknaan identifikasi farmakokinetik suatu obat
tidak hanya terletak dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kadar dan
keberadaannya dalam tubuh, tetapi juga dalam menentukan kegunaan terapeuti
obat-obat yang mempunyai potensi toksik yang tinggi (Mycek, 2004).
Fase farmakokinetik
berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh. Pemasukan in vivo
tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisiko – kimia yang terpadu di
dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsure
penting yang menentukan profil keadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang
selanjutnya menetukan aktivitas terapetik obat (Devissaguet, Aiache, 1993).
Farmakokinetika meneliti perjalanan obat, mulai dari saat
pemberiannya, bagaimana absorbsi dari usus, transport dalam darah, dan
distribusinya ke tempat kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula bagaimana perombakannya (biotranformasi) dan akhirnya ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya
farmakokinetika mempelajari segala sesuatu tindakan yang dilakukan tubuh
terhadap obat (Tan. H.T, 2002).
Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi
obat dengan reseptornya ; maka secara teoritis intensitas efek obat, baik efek
terapi maupun efek toksik, tergantung dari kadar obat di temapt reseptor atau
tempat kerjanya. Oleh karena itu kadar obat di temapt kerja belum dapat diukur,
maka sebagai penggantinga diambil serum
/ plasma yang umumnya dalam keseimbangan dengan kadarnya ditempat kerja.
Telah dibuktikan bahwa untuk kebanyakan obat terdapat hubungan
linier antara efek farmakologik obat dengan kadarnya dalam plasma atau serum ;
tetapi tidak demikian halnya antara
efek dengan dosis obat. Hal ini
disebabkan karena kadar obart dalam plasma ditentukan tidak hanya oleh dosis
obat tetapi juga olef factor – factor farmakokinetik yang ternyata sanagt
bervariasi antar individu (Ganiswarna, 2005).
Faktor fisiopatologik yang berpengaruh pada fase farmakokinetik
dan farmakodinamik suatu obat di dalam tubuh (Devissaguet, Aiache, 1993).
Keturunan
Jenis kelamin
Umur
Morfologi
Farmakogenetik
Kronofarmakologo
|
Posisi tubuh
Aktivitas relative
Keadaan gizi
Kehamilan
Menopause
Suhu
|
pH air kemih
Aliran air kemih
Aliran darah
Lingkungan
Keadaan patologi
Efek non spesifik
|
Pelepasan obat dari sediaan
dalam perkembangan pengetahuan biofarmasi sekarang sudah dapat dikontrol,
demikian juga absorbsi obat sudah dapat dipertimbangkan dengan seksama faktor –
faktor yang mempengaruhinya. Kecepatan eliminai obat dari tubh sangat ditentukan oleh parameter farmakokinetik obat tersebut.
Dalam mengatur kecepatan pelepasan obat, diharapkan kita akan dapat suatu blood level yang terkontrol
(Syukri, 2002).
Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian
ke dalam aliran darah. Kecepatan dan efisiensi absorbsi tergantung pada cara
pemberian. Untuk intra vena, absorbsi sempurna yaitu dosis total obat
seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik. Pemberian obat dengan sirkulasi lain
hanya bisa menghasilkan absorbsi yang parsial dan karena itu merendahkan
ketersediaan hayati. Tergantung pada sifat-sifat kimianya, obat-obat bisa
diabsorbsi dari saluran cerna secara difusi pasif atau transpor aktif (Mycek,
2004).
Absorbsi obat didefinisikan
sebagai penetrasi suatu obat melewati membran tempat pemberian dan obat tersebut berada dalam bentuk yang tidak
mengalami perubahan. Dari defenisi diatas, ada 2 butir penting yang perlu diperhatikan
yaitu (Syukri, 2002) :
1.
Paling sering diasumsikan bahwa hilangnya obat dari saluran cerna
menandakan adanya absorbsi. Hal ini ternyata benar bila hilangnya obat dari
saluran cerna diikuti dengan munculnya obat dalam darah. Adakalanya hilangnya
obat, yang mungkin terjadi dalam cairan saluran cerna ataupun pada diding usus.
2.
Istilah membran saluran cerna kadang – kadang
membuat salah pengertian. Karena membran disini tidak terdiri dari satu lapis
sel. Kenyataannya sejumlah membran uniseluler paralel satu sama lainnya, jadi
ukuran molekul dari sebagian besar molekul senyawa harus berdifusi pada suatu
jarak yang sangat jauh. Obat yang berdifusi ini untuk sampai ke sirkulasi darah
perlu melewati suatu mukosa
Sebagian besar obat
diberikan secara per oral dan obat –
obatan ini harus melewati dinding usus untuk memasuki aliran darah. Proses
absorbsi ini dipengaruhi oleh banyak faktor namun biasanya sesuai dengan
kelarutan obat dalam lemak. Oleh karena itu, absorbsi molekul yang tidak terionisasi dipermudah karena molekul ini jauh lebih larut
lemak daripada molekul – molekul
terionisasi dan molekul terionisasi ini diselubungi oleh suatu cangkang molekul air. Obat diabsorbsi terutama di usus halus karena permukaannya
luas. Hal ini berlaku bahkan untuk asam lemah misalnya aspirin yang tidak
terionisasi dalam asam (HCl) lambung. Obat yang diabsorbsi dari saluran gastrointestinal memasuki sirkulasi portal
dan beberapa obat dimetabolisme secara luas saat obat melewati hati
(metabolisme lintas pertama) (Michael , 2006).
Obat yang cukup larut lemak untuk dapat
diabsorbsi secara oral dengan cepat terdistribusi ke seluruh kompartemen cairan
tubuh. Banyak obat berikatan lemah dengan albumin plasma, dan terbentuklah
keseimbangan antara obat terikat dan obat bebas dalam plasma. Obat yang terikat
pada protein plasma hanya terdapat pada sistem vaskuler dan tidak menimbulkan
aksi farmakologis (Michael , 2006).
Jika obat diberikan secara suntikan
intravena, maka obat masuk ke dalam darah dan secara cepat terdistribusi ke
jaringan. Penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari waktu ke waktu (yaitu
kecepatan eliminasi obat) dapat diukur dengan mengambil sampel darah secara
berulang. Pada awalnya seringkali konsentrasi menurun dengan cepat, namun
kemudiankecepatan penurunan berkurang secara progresif. Kuva tersebut disebut
eksponensial, dan hal ini berarti pada
waktu tertentu terdapat eliminasi fraksi
konstan obat dalam suatu satuan waktu.
Banyak obat menunjukkan suatu penurunan eksponensial dalam konsentrasi
plasma karena kecepatan kerja proses
eliminasi obat biasanya proporsional
terhadap konsentrasi obat dalam plasma
yang terlibat adalah (Michael , 2006) :
1. Eliminasi melalui urin
oleh filtrasi glomerulus
2. Metabolisme, biasanya
oleh hati
3. Ambilan oleh hati dan
selanjutnya dieliminasi memalui empedu.
Volume
distribusi yang nyata adalah hitungan nilai yang menggambarkan sifat distribusi
obat. Vd adalah volume yang dibutuhkan untuk membuat dosis yang
diberikan jika dosis itu didistribusikan dengan merata pada konsentrasi yang
diukur di dalam plasma. Anda dapat meramalkan bahwa obat dengan Vd =
3 liter diditribusikan hanya dalam plasma (volume plasma 3 liter), sedang obat
dengan Vd = 16 liter mungkin didistribusikan dalam cairan
ekstraselular (cairan ekstraselular = 3 liter plasma ditambah 10-13 liter
cairan interstitial). Obat dengan Vd lebih dari 46 liter mungkin
dibuang kedalam depot karena tubuh hanya mengandung 40-46 liter cairan (Olson,
2002).
Kurva kadar plasma – waktu
dihasilkan denganmengukur konsentrasi obat dalam cuplikan plasma yang diambil
pada berbagai jarak waktu setelah pemeberian
suatu produk obat. Konsentrasi obat dalam tiap cuplikan plasma digambar
pada koodinat kertas grafik rektangular terhadap waktu pengambilan cuplikan plasma. Selama obat mencapai sirkulasi umum
sistemik, konsentrasi obat dalam plasma akan naik sampai maksimum. Pada umumnya
absorbsi suatu obat terjadi lebih cepat dari pada eliminasi. Selama obat
diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik, obat didistribusikan ke semua jaringan
dalam tubuh dan juga secara serentak dieliminasi. Eliminasi suatu obat dapat
tercapai melalui ekskresi atau biotransformasi atau kombinasi dari keduanya
(Shargel, 2012).
Waktu kerja obat sama dengan
waktu yang diperlukan obat untuk mencapai MEC (Minumum Effective Consentration). Intensitas efek farmakologik
adalah sebanding dengan jumlah reseptor obat yang ditempati, yang
dicerminkan dalam pengamatan, di mana
konsentrasi obat salam plasma lebih tinggi menghasilkan respons farmakologik yang lebih besar, sampai
maksimum. Lama kerja obat adxalah selisih waktu antara waktu mula kerja obat
dan awaktu yang diperlukan obat turun lagi ke MEC. Waktu yang kadar puncak
dalam plasma adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentarsi obat
maksimum dalam plasma yang secara kasar
sebanding dengan laju absorbsi obat rata
– rata. Kadar puncak dalam plasma atau konsentrasi maksimum obat biasanya
dikaitkan dengan dosis atau tetapan laju
absorbsi dan eliminasi obat. Sedangkan AUC dikaitkan dengan jumlah obat yang
terabsorbsi secara sistemik (Shargel, 2012).
Dengan infus intravena yang kontinue, kecepatan obat
masuk ke dalam tubuh adalah tetap. Dalam kebanyakan kasus eliminasi obat adalah
first order artinya suatu fraksi obat yang tetap dibersihkan persatuan waktu.
Oleh karena itu, kecepatan keluarnya obat dari tubuh meningkatkan secara
proporsional bila konsentrasi plasma meningkat dan pada setiap saat selalu
proporsional terhadap konsentrasi obat dalam plasma (Mycek, 2004).
Dengan model farmakokinetik yang kompleks dapat dengan
modek farmakokinetik yang kompleks dapat digunakan program computer untuk
menghitung semua parameter menjadi, jumlah titik data seharusnya selalu
melebihi jumlah parameter dalam model. Model
farmakokinetik berguna untuk (Syukri, 2002)
:
1.
Memperkirakan kadar obat dalam plasma, jaringan dan urin pada berbagai
pengaturan dosis.
2.
Memperkirakan model kemungkinan akumulasi obat dan atau
metabolit-metabolit.
3. Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara
individual
4.
Menghubungkan konsentrasi obat dengan aktifitas farmakologik atau
toksikologik.
5.
Menilai perbedaan laju atau tingkat availabilitas antara formulasi
(bioekivalen).
6.
Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorpsi atau
eliminasi obat.
7. Menjelaskan interaksi obat.
Tubuh kita dapat dianggap sebagai ruang yang besar yang
terdiri dari beberapa kompartimen (bagian) berisi cairan, dan antar kompartemen
tersebut dipisahkan oleh membrane sel. Kompartemen yang terpenting adalah
antara lain saluran lambung usus, system peredaran darah, ruang ekstra sel,
ruang intra sel dan ruang cerebrospinal dan sumsum tulang belakang. Resorbsi,
distribusi dan ekskresi obat di dalam tubuh pada hakikatnya berlangsung dengan
mekanisme yang sama, karena semua proses ini tergantung dari lintasan obat
melalui serangkaian membrane sel tersebut (Tan. H. T, 2002).
Jenis – jenis model farmakokinetik tubuh manusia. Model 1
kompartemen. Menurut model ini, tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen tempat
obat menyebar dengan seketika dan merata ke selruh cairan dan jaringan tubuh.
Model ini terlalu sederhana sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat (Ganiswarna, 1995) .
Model 2 kompartemen. Tubuh dianggap terdiri
atas kompartemen sentral dan kompartemen perifer. Kompartemen sentral terdiri
dari darah dan berbagai jaringan yang banyak dialiri darah seperti jantung,
paru, hati, ginjal dan kelenjar – kelenjar endokrin. Kompartemen perifer adalah
berbagai jaringan yang kurang dialiri darah misalnya otot, kulit, dan jaringan
lemak. Model 2 kompartemen ini pada prinsipnya sama dengan model kompartemen 1,
bedanya hanya dalam proses distribusi karena adanya kompartemen perifer,
eliminasi tetap dari kompartemen sentral. Model ini ternyata cocok untuk banyak
obat (Ganiswarna, 2005).
Model 3 kompartemen, Kompartemen perifer
dibagi atas kompartemen perifer yang dangkal dan kompartemen perifer yang
dalam. Model mana yang cocok untuk suatu obat dan dapat diperkirakan dari
profil kurva kadar obat dalam plasma terhadap waktu (Ganiswarna, 2005).
Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusi
keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah,
distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat
dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi
fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya
sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal dan otak (Ganiswarna, 2005).
Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih
luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ diatas misalnya
otot, visera kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang intrastinal
jaringan terhadi cepat karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan
semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam
lemakakan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel sedangkan obat
yang tidak larut ke dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairan ekstra sel. (Ganiswarna, 2005).
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat
setempat maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara
progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap kedua ini
merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga
diterapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam
minyak, tetapi yang terjadi disini adalah proses ekstraksi (penyarian). Setelah
pemberian sediaan larutan, secara insitu dapat timbul endapan zat aktif yang
biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut
selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian pemberian sediaan larutan tidak
selalu dapat mengakibatkan penyerapan yang segera (Wattimena, 1987).
Respon biologis terhadap suatu obat,
merupakan suatu hasil interaksi antara obat dengan molekul-molekul yang penting
secara fungsional dalam sistem hidup atau reseptor. Respon disebabkan oleh
suatu perubahan dalam suatu proses biologis yang ada sebelum pemberian obat.
Besar respon berhubungan dengan konsentrasi obat yang dicapai pada tempat obat
tersebut bekerja. Konsentrasi ini tergantung pada banyaknya dosis obat yang
diberikan, besarnya absorbsi dan distribusi ke tempat tersebut dan laju serta
besarnya obat yang dieliminasikan di dalam atau dari tubuh (Ansel, 1989).
Saat obat didistribusikan dalam tubuh, obat mengadakan
kontak dengan sejumlah membran. Obat-obatan melalui beberapa membran tetapi
membran lainnya tidak. Ada dua faktor yaitu (Olson, 2004) :
1.
Faktor-faktor terkait obat
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi
meliputi keadaan ionisasi, berat molekul, kelarutan dan formulasi. Obat-obat
yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak menembus membran plasma paling
mudah.
2.
Faktor-faktor terkait pasien
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi obat tergantung
pada cara pemberiannya. Sebagai contoh, adanya makanan dalam saluran
pencernaan, keasaman lambung, dan aliran darah ke saluran pencernaan
mempengaruhi absorbsi obat-obatan oral.
Selama obat mencapai sirkulasi umum (sistemik),
konsentrasi obat dalam plasma akan naik sampai maksimum. Pada umumnya absorbsi
suatu obat terjadi lebih cepat daripada eliminasi. Selama obat diabsorbsi ke
dalam sirkulasi sistrmik, obat didistribusikan kesemua jaringan dalam tubuh dan
juga secara serentak dieliminasi. Eliminasi sutu obat dapat terjadi melalui
ekskresi atau biotransformasi atau kombinasi dari keduanya (Shargel, 2012).
B.
Uraian
Obat
1. Farmadol® (Paracetamol) (Ditjen POM, 1979 : 37)
Nama
resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama
lain : Acetaminofen, Paracetamol
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau; rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam
13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian
propilenglikol P ; larut dalam larutan alkali hidroksida
Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Kegunaan : Sebagai obat
Indikasi : Sakit kepala, demam, nyeri otot & sakit gigi, Untuk
pengobatan jangka pendek, nyeri sedang (terutama sesudah operasi) dan demam .
Kontraindikasi : Insufisiensi
hepatoselular berat
Farmakokinetik : Parasetamol
cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai
dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3
% diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi
dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin
dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon
yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis
normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi
nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Darsono, 2002)
Farmakodinamik : Efek
analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin
tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan
lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan
dan keseimbangan asam basa (Mardjono, 2009).
Efek samping : Reaksi
hematologi, reaksi kulit & reaksi alergi lainnya.
Interaksi obat : Alkohol,
antikoagulan oral,kloramfenikol, aspirin, fenobarbital, obat yang bersifat
hepatotoksik, penginduksi enzim hati.
C. Uraian
Hewan Coba
1. Klasifikasi Hewan Coba (Jasin,
1992)
Tikus (Rattus norvegicus)
Kingdom : Animalia
Phylum :
Cordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
BAB III
METODE
KERJA
A.
Alat Yang Digunakan
Adapun
alat-alat yang digunakan yaitu Gunting, Spektrofotometri,
Spoit 1 ml, Spoit 3 ml, Spoit 5 ml, Tabung
eppendorf, Timbangan, dan Vial.
B. Bahan Yang Digunakan
Adapun
bahan yang
digunakan yaitu Alkohol, Aquades, Betadine, Na.CMC, Kapas, Parasetamol®,
dan Plester.
C.
Cara
Kerja
1.
Penyiapan Hewan
a. Hewan coba dimandikan sehari sebelum dilakukan percobaan.
b. Hewan coba hendaknya dipuasakan
selama 6-8 jam sebelum percobaan
c. Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu
ditimbang
d. Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba
untuk menyatakan berat, nomor hewan coba dsb.
2. Perlakuan hewan
1. Disiapakan
alat dan bahan yang akan digunakan dan hewan coba tikus (Rattus
norvegicus).
2. Diambil
darahnya sebanyak sebanyak 0,5 ml (ditempatkan pada tabung eppendorf).
3. Diinjeksikan
Paracetamol®
melalui ekor tikus.
4. Diamkan
selama 30 menit.
5. Kemudian
diambil darahnya 0,5 mL setiap 30 menit yaitu pada menit ke-30 dan 60.
6. Disentrifugasi
selama 10 menit.
7. Dihitung
absorbansinya pada spektrofotometer.
8. Dicatat
datanya.
9. Dihitung parameter farmakokinetiknya.
BAB IV
DATA PENGAMATAN
A.
Tabel
Pengamatan
Data kurva baku
C
|
ABSORBAN
|
2
|
0.417
|
4
|
0.721
|
6
|
0.935
|
8
|
1.425
|
10
|
1.655
|
Data sampel
Waktu
(jam)
|
ABSORBAN
|
2
|
0.584
|
4
|
0.499
|
6
|
0.329
|
8
|
0.233
|
10
|
0.181
|
12
|
0,112
|
14
|
0,109
|
·
Perhitungan
C
|
ABSORBAN
|
2
|
0.417
|
4
|
0.721
|
6
|
0.935
|
8
|
1.425
|
10
|
1.655
|
Nilai : a
= 0.076
b = 0.159
r = 0.997
· untuk
mencari nilai Cp maka digunakan persamaan berikut :
y
=
= = 3,194
= = 2,660
= = 1,591
= = 0,987
= = 0,660
= = 0,226
= = 0,207
Waktu
(jam)
|
ABSORBAN
|
Cp
(ml)
|
Log
Cp
|
2
|
0.584
|
3,194
|
0,504
|
4
|
0.499
|
2,660
|
0,424
|
6
|
0.329
|
1,591
|
0,201
|
8
|
0.233
|
0,987
|
-0,005
|
10
|
0.181
|
0,660
|
-0,180
|
12
|
0,112
|
0,226
|
-0,645
|
14
|
0,109
|
0,207
|
-0,684
|
·
Orde 0 (nol) t vs Cp
a = 3,469
b = -0,263
r = -0,965
·
Orde 1 (satu) t vs log Cp
a = 0,814
b =
- 0,108
r =
-0,982
·
Mengikuti orde 1, karena
mendekati -1
·
Menentukan
parameter-parameter Intravena
a) Ketetapan
eliminasi (k)
K = -b
x 2,3
=
-(-0,108) x 2,3
=
0,248 jam-1
b) Waktu
paruh (t½)
t½ =
= = 2,794 jam
c) Volume
distribusi (Vd)
Dosis obat = 1000 mg
Vd =
=
= 153,468 ml
d) AUC
(Area Under Curve)
=
= mg jam/ml
= mg jam/ml
= mg jam/ml
= mg jam/ml
= mg
jam/ml
= mg
jam/ml
AUC
= 16,183 mg jam/ml
b. = = 0,834 mg jam/ml
= = = = 26,274 mg jam/ml
= x 100 %
x 100%
DAFTAR PUSTAKA
Ansel.,Howard., C. 2004. Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi. UI Press. Jakarta.
Devissaguet., Aiache. 1982.
Farmaseutika 2 Biofarmasi Edisi ke-2. Tehnique et Documentation 11 Rue Lavoiser .
Air langga University Press
Ganiswarna., 2005. Farmakologi Dan Terapi. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Michael., J., Neal. 2006. At a Glance Farmakologi
Medis Edisi ke Lima. Penerbit Erlangga PT Gelora Aksara Pratama. Jakarta.
Mycek., 2004. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.
Olson James. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 5
Shargel, Leon. 2012. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan.
Air Langga University. Jakarta.
Syukri.,Y. 2002. Biofarmasetika. UI Press. Yogyakarta.
Tan., H., Tjay dan
Kirana Rahardja. 2002. Obat – Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Wattimena.
1987. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.
LAMPIRAN
Skema
Kerja
Siapkan Hewan Coba
Tikus (Rattus Norvegicus)
Sebelum praktikum, terlebih dahulu
dipuasakan
selama 6-8 jam
Diambil
darahnya sebanyak 0,5 ml(ditempatkan pada tabung eppendorf )
Diberikan obat secara oral
Dibiarkan selama 30 menit
Diambil darahnya pada
menit ke- 30 dan 60
Disentrifugasi selama
10 menit
Diukur absorbansinya
pada spektrofotometri
Dicatat
datanya dan
dihitung
parameter farmakokinetiknya
A. Daftar obat yang
digunakan
1. Farmadol
B. Perhitungan
dosis
Dosis = 15 mg / kg BB = 15 mg / 1000 gr BB = 0,015
mg/gr BB
Ø UntukTikus 4 (209 g) = 209 x 0,015 = 3,13 mg
V1 : M1 =
V2 : M2
1 : 10 = X : 3,13
10 X = 3,13
Ø UntukTikus 5 (245 g) = 245 x 0,015 = 3,675 mg
V1 : M1 =
V2 : M2
1 : 10 = X : 3,675
10 X =
3,675
Tidak ada komentar:
Posting Komentar